Home » , » Oskar Schindler of Binangun (Merangkul, Bukan Memukul)

Oskar Schindler of Binangun (Merangkul, Bukan Memukul)

Diceritakan oleh Gugun Arief pada Monday, September 4, 2017 | 9:26 PM

Sore ini saya diajak nginep di rumah temen lawas saya. Yuk nginep di ndeso, katanya. Tawarannya bikin saya ketawa. Kan kesannya jadi seolah Wlingi itu kota beneran hehehe...
Tujuan utama saya sebenarnya adalah semacam location scouting (nyari lokasi) buat film saya nanti. Soalnya temen saya itu pamer kalo desanya sekarang cantik. Daerah pinggiran sungainya dibersihin biar “instagramable” gitu. Setelah saya lihat, saya sepakat. Desa ini emang cantik. Dari sore sampe maghrib saya nongkrong di tepi sungainya. Abis itu sholat di masjid yang mampu me-restore kepercayaan saya terhadap Islam yang toleran. Hawa panas Islam ala medsos terhapus sudah begitu saya mengalami sejuknya ber-Islam ala ndeso. Islam yang nyante, nggak baperan.

Sepulang dari masjid, saya tertarik pada sebuah rumah vintage di tepi jalan. Di terasnya ada bangku dan papan tulis jadul kayak setting di film Sang Pencerah-nya Hanung. Temen saya bilang kalo pemilik rumah ini dulu orang yang kharismatik.

Rumah almarhum Pak Samsuddin, selepas Isya'.
Menyinggung soal kharisma, berceritalah teman saya tentang sebuah peristiwa di desa ini jaman geger tahun 65.

Konon di desa ini banyak simpatisan PKI yang diselamatkan oleh seorang tokoh kharismatik. Whaaa kok mirip ama komik yang pernah saya tulis? Saya makin penasaran. Saya tuntut temen saya cerita lebih banyak. Sambil makan malam di rumahnya, ia pun minta bapaknya yang bercerita. Bapak teman saya ini lahiran tahun 40an. Jadi pada masa tragedi 65 ia sudah cukup akil baligh. Sambil makan sayur ikan kuah buatan ibu teman saya, saya pun mendengar kisah luar biasa itu dengan takjub.

Tokoh kita bernama Pak Samsuddin. Pada masa itu ia adalah kamituwa di desanya. Ia merupakan orang yang terpandang, terpelajar, disegani dan kharismatik. Jaman segitu orang-orang belum ada yang belajar nyantri, Pak Sam sudah jadi santri. Tak heran jika ia diposisikan sebagai sesepuh.

Suatu ketika pernah terjadi kemalingan di desa. Oleh warga malingnya digiring agar lari ke ladang tebu. Warga kemudian bikin pagar betis mengelilingi rerimbun tebu itu agar nanti mudah menangkap si maling. Saat itu lah Pak Sam muncul. Dengan tenang ia masuk ke rerimbun tebu, menemui si maling. Si maling yang tak bisa berkutik hanya pasrah saja ketika Pak Samsuddin bilang,
"Kamu ikut saya. Kamu harus nurut kalau kamu mau badanmu utuh".

Si maling cuma manut saja ketika Pak Samsuddin membawanya keluar dari rerimbun tebu. Tak ada warga yang berani main hakim sendiri. Pokoknya jika bromocorah sudah dipegang Pak Samsuddin, sudah bisa dipastikan tak akan ada yang berani menjawilnya. Si maling pun dengan aman dan utuh diserahkan ke aparat. Nggak tau setelahnya. Dan di kisah lain bahkan si maling malah dikasih makan, dikasih uang saku dan cuma dinasehati,
"Kamu jangan ke sini lagi. Lain kali kalau kamu melakukan hal yang sama, tindakan kami akan berbeda."

Saat peristiwa G30S, sebagaimana di seluruh pelosok nusantara, banyak para simpatisan PKI dijagal habis. Tentu peristiwa ini bukan tanpa akar sebelumnya. Menurut kisah bapaknya teman saya, dulu para simpatisan PKI juga ofensif secara fisik. Penyerbuan masjid dan pembakaran kitab itu konon juga ada yang menyaksikan terjadi. Setidaknya demikian yang saya dengar dari bapaknya teman saya. Tapi menyebut istilah simpatisan itu sebuah data yang gebyah uyah. Memang ada simpatisan yang emang dengan sadar terlibat, namun sangat banyak juga yang nggak tahu menahu. Waton ikut gara-gara janji-janji politik. Barisan fans dan grupies lah kayaknya.

Nha, Pak Samsuddin lah yang menyelamatkan banyak simpatisan PKI yang tak tahu menahu itu. Sebenarnya susah untuk menyelamatkan orang-orang ini karena nama mereka sudah masuk dalam killing list yang konon dirilis oleh para aparat yang kontra komunis. Pak Samsuddin pun menggunakan pengaruhnya.
"Biar saya bina orang-orang ini. Jangan dijagal."

Kurang lebih demikian katanya. Maka para simpatisan itu dibawa ke masjid, diajari agama dan berbaur kembali dengan masyarakat. Ada banyak yang terselamatkan olehnya. Darinya kita bisa belajar Islam yang "ramah, bukan marah", yang "mengajak, bukan mengejek", yang "merangkul, bukan memukul".

Keputusan semacam ini bisa saja beresiko tinggi. Jaman itu lawan dan lawan sangat kabur. Bisa saja Pak Sam difitnah pro PKI. Tapi begitulah sejarah yang kemudian terjadi. Dalam kharisma yang besar, tersimpan tanggungjawab yang besar. Pak Samsuddin menyelamatkan banyak orang dari sebuah killing list yang nyaris mustahil orang lolos. Hal yang tak bisa dilakukan oleh orang tanpa kharisma.

Sayangnya, sepertinya kisah ini mungkin tak banyak lagi yang ingat. Dan hari ini saya pun mendengar dari bapak teman saya, bahwa di desa ini pernah ada seorang "Oskar Schindler". Ya, kayaknya pas disebut Oskar Schindler of Binangun hehehe. Siapakah itu Oskar Schindler? Tonton aja film Schindler List yang dibikin Steven Spielberg.

Cerita ini fresh saya tulis dari Desa Tawangrejo, Binangun, Blitar Selatan.
Jika menurut Anda bermanfaat, silakan berbagi tulisan ini ke teman Anda dengan tombol Google+, Twitter, atau Facebook di bawah ini.
Comments
0 Comments
0 Comments

Berikan Komentar

Post a Comment

Translate This Page into