Home » , , » Move On, Biarkan Mantan Jadi Kerak Sejarah! (Gerakan 30 September 2015)

Move On, Biarkan Mantan Jadi Kerak Sejarah! (Gerakan 30 September 2015)

Diceritakan oleh Gugun Arief pada Tuesday, September 1, 2015 | 8:26 AM

Hari ini saya ngarahin anak-anak untuk mementaskan cerpen "Keadilan" karya Putu Wijaya. Karena anak-anak belum paham tafsir cerpen tersebut, saya memberikan gambaran versi saya sendiri. Menurut saya cerpen itu adalah gambaran soal masuknya kekuatan modal asing ke Indonesia di awal-awal republik baru berdiri. Masuknya modal itu kemudian menjadikan negara ini terbebani hutang-hutang di masa ke depannya.

Supaya anak-anak gampang menafsirkan, saya kasih mereka referensi. Biar mereka ada gambaran dikit lah soal lakon yang mau mereka garap. Jadinya saya ndongeng dikit soal peristiwa '65 berbasis buku putih keluaran Setneg (lupa tahunnya), ditambahi kesaksian almarhum Bapak saya, plus teori-teori konspirasi yang beredar. Tentunya dengan bahasa yang saya usahakan seenteng mungkin. Maklum peristiwa '65 begitu kelam dan menyakitkan. Yang jadi korban masa itu bukan orang asing melainkan tetangga, sahabat dan kenalan-kenalan sendiri. Buku-buku sejarah yang sekarang diajarkan pun masih mengacu pada tafsir resmi (negara).

Saya tidak akan masuk jauh soal sejarahnya. Soalnya selain males juga berat hehe...butuh studi literatur bertahun-tahun. Toh anak-anak peduli apa? haha.

Sementara anak-anak sibuk bikin tim, baca-baca naskah, nyiapin casting dll. pikiran saya sejenak nrawang jauh ke belakang. Ngelamun... Lamunan saya terbawa sampai pulang melatih .... Kebetulan banget ini masuk bulan september. Sebentar lagi kayaknya di timeline medsos saya bakal rame wacana soal, "Perlunya meminta maaf kepada PKI."

Kewaspadaan terhadap Gerakan-Gerakan Berbau Komunisme

Saya sempat ngobrol ama teman saya soal ini, juga mengomentari videonya Cak Nun yang akhir-akhir ini makin jelas menyuarakan kewaspadaan terhadap komunisme. Cak Nun berada sebarisan bersama Kivlan Zein dll. Dari obrolan itu saya melihat adanya anjuran kewaspadaan terhadap gerakan-gerakan berbau komunisme yang juga menjangkit di level elit politik. Setidaknya ini mulai kencang disuarakan oleh forumnya Cak Nun.

Cak Nun, kecerdasan analitiknya bisa saja nampak sebagai kesaktian (yang tidak masuk akal) di mata awam. (kredit gambar: Robbi Gandamana)
Terus... apa urusannya ama saya?

Gini...selama setahunan ini saya mengkampanyekan secara mikro soal literasi media. Kampanye mikro loh...bukan kampanye berdana ala LSM gituh. Literasi media adalah bersikap kritis terhadap apa-apa yang ditampilkan media. Misalnya... apa benar sih ada wacana "minta maaf kepada PKI"? Minta maaf kepada PKI (yang partai) atau minta maaf kepada korban? Setahu saya, yang jadi korban itu banyak juga yang nggak terlibat PKI.

Ah, kata siapa?

Kata bapak saya.

"Minta Maaf kepada PKI"?

Bapak saya dulu nyaris jadi korban PKI. Di desa yang Masyumi cuma 3 orang termasuk Bapak, sisanya simpatisan PKI. Ketika pada bulan Oktober 65 dan setelahnya, keadaan berbalik. Semua simpatisan itu kemudian jadi buruan. Bapak waktu itu kurang lebih bilang,

"Iya jelas dulu PKI itu kejam. Tapi aksi balas dendam itu juga berlebihan karena korbannya seringkali salah sasaran."

Setelah era 65 reda, dan darah-darah yang melumuri jalan-jalan di Jawa Timur sudah dibersihkan, Bapak aktif di Muhammadiyyah. Saya kadang ngobrol ama Bapak, kisah ketika Bapak masih muda. Mengenai peristiwa 65, saya sering bawa referensi kekinian buat ndebat Bapak. Kalo sudah terdesak, Bapak bilang,

"Kowe ki ora ngrasakna jaman kae leeee!"


Haha ya emang saya cuman anak jaman sekarang yang apa-apa menggunakan referensi.

"Minta maaf pada PKI sih ngawur. Ora perlu juga. Biarkan jadi kerak sejarah!"

Itu kata yang barusan diketik ama sahabatku. (Hoe, nek kowe rumangsa memiliki kata-kata ini njedhula dhewe haha) ...dan saya sepakat. Minta maafnya bukan kepada PKI-nya. Tapi kepada korban-korban salah sasaran yang tak tahu menahu. Yang sekarang jadi hantu-hantu moralitas bangsa di masa yang akan panjang.

Berdasarkan testimoni beberapa pelaku sejarah (nggak cuma bapak saya). PKI dulu juga intimidatif. Kejam juga. Bapak cerita, ada seorang anggota militer meninggal dikeroyok oleh Pemuda Rakyat. Saking traumanya ama kekejaman PKI, bapak sempat minta fotonya saat masih aktif di Masyumi diturunkan dari dinding. Bahaya! Nanti bisa dilihat anak-anak PKI, katanya. Itu udah tahun 2000an loh.

Jadi konon PKI waktu itu nggak cuma intimidatif secara verbal namun juga fisik. Tapi soal kiprah PKI menentang korupsi birokrasi, menentang penjajahan itu juga benar adanya. Jadi kalo mau adil, melihat sejahat apapun kaum, kita juga lihat sisi lainnya. Seperti melihat gerakan Islamist nggak cuma lihat aspek terornya namun juga ideologi sosialnya. Perkara utopis itu lain bahasan.


Saat ini orang melakukan framing... melihat hanya potongan yang diinginkan untuk menjustifikasi labelisasi. Ini berlaku di banyak pihak. Bahkan mungkin ketika saya nulis status ini udah pada framing....nih antek pendukung kuminis nih. Hahaha. Nggak baca utuh, nggak konfirmasi, dan nggak pake referensi.

"Kalau mau adil, melihat sejahat apapun kaum, kita juga lihat sisi lainnya." 

So... kesimpulannya.

Move on. Yaitu biarkan mantan jadi kerak sejarah. (Lho kok malah ngomongin mantan sih....). Maksudnya mantan problematika bangsa. Kalo soal bahaya latent komunis itu sih bagi saya sama aja dengan teori konspirasi zionis, ISIS dll. Sama-sama ada gejala, sama-sama ada kaitan tapi semuanya kembali kepada tafsir kita. Dan ingat... tafsir akan tergantung primordialisme ideologi, latarbelakang, pengalaman sejarah, dan kepentingan.

Ah wis embuh, Rek. Urusana sing abot-abot ngene iki. Aku tak bali maning neng kelas, ngajari arek-arek maen ketoprak wae wessss.
Jika menurut Anda bermanfaat, silakan berbagi tulisan ini ke teman Anda dengan tombol Google+, Twitter, atau Facebook di bawah ini.
Comments
0 Comments
0 Comments

Berikan Komentar

Post a Comment

Translate This Page into