Home » , » Pengertian Keyakinan dengan Pengetahuan

Pengertian Keyakinan dengan Pengetahuan

Diceritakan oleh Tricahyo Abadi pada Saturday, November 10, 2012 | 9:36 AM

Share artikel yang ditulis oleh Ki Wit Wijayantodipuro dalam note facebook maupun blog beliau.

keYAKINan bukan pengeTAHUan

Tadi sore aku melihat berita di televisi, bentrokan terjadi (lagi) antara komunitas Syiah dengan komunitas Sunni di Madura.  Aku tidak peduli dengan Syiah atau Sunni-nya itu bagaimana, kalau mau tahu tentangnya, tinggal googling saja, untuk mencari tahu bagaimana sebenarnya KEYAKINAN mereka masing-masing.  Bagiku, tentang KEYAKINAN sepatutnya tidak perlu diperdebatkan/dipertentangkan. Jika ingin tahu KEYAKINAN orang lain, tanyakan saja, KEYAKINANnya bagaimana, dan mengapa sampai pada KEYAKINAN tersebut.  Jika merasa COCOK dengan KEYAKINAN itu, ya ikuti saja (ikut YAKIN), jika merasa TIDAK COCOK, ya tidak usah diikuti.

Yakin atau tahu?
Yakin? Atau tahu?
Yang membuat REPOT dan sering menjadi MASALAH, adalah ketika orang TIDAK SADAR, bahwa KEYAKINAN itu telah membuatnya menjadi JAHAT pada orang lain yang berbeda KEYAKINAN.  Tidak setuju dengan KEYAKINAN orang lain, itu bukan KEJAHATAN, tetapi melakukan tindakan yang merugikan pihak lain, itulah KEJAHATANnya. "Celakanya", tindakan JAHAT itu kadangkala dianggap sah dan benar bahkan dianggap sebagai tindakan SUCI, karena sesuatu yang diYAKINi.

Walau sudah diajari untuk "aja kagetan, aja gumunan" (jangan mudah kaget, jangan mudah heran), aku masih saja heran dengan orang-orang yang menjadikan KEYAKINANnya sebagai 'standar' untuk MENGHAKIMI orang lain.  Untung aku pernah belajar pada ajaran Yeshua (Yesus), yang mengajarkan "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi." (Matius 7:1).  Aku baca ajaran Yeshua ini sudah sejak masih kanak-kanak, tetapi merasa 'agak paham' dengan ajaran itu baru beberapa tahun yang lalu.

Aku banyak melihat/mengetahui, bahwa PENGHAKIMAN seseorang terhadap orang lain, hampir semua berdasarkan pada KEYAKINAN orang itu.  Aku kemudian belajar, bahwa KEYAKINAN itu bukan PENGETAHUAN.  YAKIN itu berbeda dengan TAHU.

Contoh sederhana pernah aku diskusikan dengan salah satu temanku. Jika dalam sebuah ruangan, ada beberapa kursi dan meja, kemudian ada satu orang yang YAKIN bahwa salah satu kursi di ruangan itu diduduki oleh "JIN", dan orang lain YAKIN bahwa tidak ada "JIN" di ruangan itu, pertanyaannya KEYAKINAN siapa yang benar?  Tidak ada yang bisa menyalahkan KEYAKINAN seseorang. Orang boleh saja YAKIN ada JIN yang duduk di salah satu kursi, tetapi orang lain juga boleh YAKIN bahwa tidak ada JIN di kursi itu.  Tentang apakah SESUNGGUHNYA ada JIN atau tidak di kursi itu, yang diperlukan bukan KEYAKINAN, tetapi PENGETAHUAN. Perlu (orang yang) TAHU, apakah sesungguhnya di kursi itu ada JIN-nya atau tidak.  Ingat, TAHU (pengeTAHUan) itu bukan MERASA TAHU atau SOK TAHU.

PengeTAHUan, bisa DIBUKTIKAN, karena BISA DIPELAJARI secara LOGIS (masuk akal) bagaimana untuk menjadi TAHU itu.  Jika ada PENGETAHUAN yang dianggap TIDAK MASUK AKAL/TIDAK LOGIS, maka ada 2  kemungkinan, yaitu (1) itu sebenarnya BUKAN  PENGETAHUAN, melainkan hanya KEYAKINAN. (keyakinan tidak perlu dibuktikan benar/salah-nya, semua keyakinan adalah "benar" menurut yang meyakininya). (2) Jika benar itu adalah PENGETAHUAN seseorang, namun tidak masuk akal bagi orang lain, itu karena akal/logika orang lain itu yang "tidak sampai" untuk memikirkan pengetahuan itu. Mungkin memang batas akal tiap-tiap orang berbeda.

Mau lebih jelas tentang beda KEYAKINAN dan PENGETAHUAN? Aku akan memberi contoh lain.  Aku YAKIN bahwa besok jika mati, aku akan MASUK SURGA, ini adalah KEYAKINAN, bukan PENGETAHUAN.  Sebab sesungguhnya aku TIDAK TAHU (BELUM TAHU) apakah besok masuk surga atau tidak.  Mengapa aku TIDAK TAHU/BELUM TAHU? Pertama, bahkan tentang SURGA saja aku TIDAK TAHU, karena BELUM PERNAH ke sana (apakah sebuah tempat? apakah sebuah keadaan?).  Kedua, aku masih ada di SAAT INI/SEKARANG, belum BESOK, maka sesungguhnya yang BESOK itu masih hanya berupa GAGASAN/IMAJINASI/KEYAKINAN.

Lantas, apa yang aku KETAHUI? Yang aku keTAHUi adalah yang SEKARANG aku alami, yang SEKARANG aku lihat, yang SEKARANG aku dengar, yang SEKARANG aku rasakan.  Yang DULU pernah aku alami, yang DULU pernah aku lihat, yang DULU pernah aku dengar, yang DULU pernah aku rasakan, itu semua (sekarang) sudah menjadi CATATAN/PENGALAMAN.

Biasanya orang tidak teliti tentang yang DIKETAHUI dan yang PERNAH DIKETAHUI (catatan/pengalaman).  Kalau aku diajak seorang teman, untuk makan di sebuah rumah makan yang KATANYA makanan di sana enak, aku bisa "iseng" memberi jawaban, "Enaknya khan DULU ketika kamu makan di sana, yang DULU enak, itu sekarang sudah menjadi CATATAN ENAK. Kita hanya akan TAHU apakah enak atau tidak enak, itu ketika SEDANG MERASAKAN makanan itu". Dengan versi singkat, kalau aku diajak makan di sebuah tempat makan dan "dipameri" bahwa di tempat itu makanannya enak, kadang aku jawab, "Enaknya khan DULU, sekarang kita BELUM TAHU."

Apapun yang  NANTI atau BESOK, adalah KEYAKINAN, bahkan hanya IMAJINASI atau GAGASAN saja.  Apapun yang LALU, adalah CATATAN, atau PENGALAMAN.  Memang bisa kita BERIMAJINASI bahwa yang BESOK itu masih sama dengan/kelanjutan dari yang LALU, tetapi inipun hanya KEYAKINAN, bukan PENGETAHUAN.  Bahwa KEYAKINAN itu kemudian TERBUKTI BENAR, itu sangat mungkin, tetapi SEBELUM sampai TERBUKTI, keyakinan hanya merupakan IMAJINASI/GAGASAN saja.

Agama dengan DOKTRIN dan DOGMA-nya, (menurutku) mengajarkan tentang GAGASAN-GAGASAN, atau IMAJINASI-IMAJINASI. Agama mengajarkan gagasan tentang Tuhan, gagasan tentang Surga dan Neraka, gagasan tentang berbagai hal.  Sayangnya, GAGASAN-GAGASAN dalam agama ini, menjadikan banyak manusia MERASA TAHU berbagai hal, padahal, sebenarnya yang dikeTAHUi adalah GAGASAN-GAGASAN itu.  Gagasan bahwa BESOK akan masuk surga, GAGASAN bahwa besok di surga akan memuji Tuhan atau akan menikmati sexual intercourse dengan bidadari-bidadari cantik jelita, GAGASAN bahwa di neraka ada api yang sangat panas menyala-nyala, yang membakar apa saja di sana, tetapi tidak mampu menghanguskan yang dibakarnya itu. Gagasan-gagasan ini adalah KEYAKINAN belaka. Tidak ada yang melarang orang punya KEYAKINAN atau punya GAGASAN/IMAJINASI, tetapi MENGANGGAP bahwa gagasan/imajinasi/keyakinan itu sama dengan PENGETAHUAN, itu adalah SESAT PIKIR, karena pikiran tidak mampu (atau tidak mau) membedakan antara apa yang DIYAKINI dengan apa yang DIKETAHUI.

Namun, kenyataannya adalah bahwa kita semua hidup dengan KEYAKINAN (gagasan-gagasan/imajinasi-imajinasi), juga dengan PENGETAHUAN, juga dengan KETIDAKYAKINAN dan juga KETIDAKTAHUAN.  Yang diperlukan adalah MENEMPATKAN keyakinan/ketidakyakinan dan pengetahuan/ketidaktahuan dalam posisi yang baik, yang baik untuk diri kita sendiri, dan baik untuk orang lain.

Salah satu kutipan favoritku adalah: "HIDUP penuh bakti ini bukan dijalani untuk menipu orang atau untuk mengajak orang mengikuti ajaran kita. Hidup penuh BAKTI ini dijalani agar bisa memandang ke dalam SEMUA hal, dan MEMAHAMInya." (Itivuttaka Sutta).

Ada banyak AJARAN yang berdasarkan KEYAKINAN/gagasan/imajinasi. Ada juga AJARAN yang berdasarkan pada PENGETAHUAN/CATATAN TAHU/PENGALAMAN.  Jika kita punya AJARAN, tidak perlu MEMAKSA orang lain untuk mengikuti ajaran kita, apalagi jika ajaran itu hanya berdasarkan pada KEYAKINAN/GAGASAN/IMAJINASI.  Bahkan, jika kita punya ajaran yang berdasarkan pada PENGETAHUAN/CATATAN TAHU/PENGALAMAN-pun, tidak perlu juga memaksakan PENGETAHUAN kita untuk diketahui/dipahami oleh orang lain, karena jika orang lain itu tidak/belum TAHU SENDIRI, mungkin sangat sulit baginya untuk menerima PENGETAHUAN kita.

Contoh, sampai sekarang aku masih sering menjumpai pernyataan-pernyataan orang yang menolak hal-hal "gaib".  Bagiku, silakan menolak hal gaib, tetapi aku PERNAH MELIHAT sebuah keris yang terbang/melayang sendiri sambil memancarkan cahaya kehijauan, dan bagiku itu adalah "gaib", karena aku hanya TAHU bahwa keris itu terbang/melayang, tetapi aku TIDAK TAHU (tidak bisa menjelaskan) bagaimana keris itu bisa terbang/melayang. Jika aku tahu bagaimana keris itu bisa terbang/melayang, tentu tidak lagi gaib bagiku.  Banyak orang yang menolak hal gaib, bukan karena bisa menjelaskan bagaimana yang gaib itu (misalnya menjelaskan bagaimana keris itu bisa terbang/melayang sendiri), tetapi karena BELUM PERNAH MELIHAT/MENGALAMI hal-hal gaib.

PENGETAHUAN saja bisa ditolak, apalagi KEYAKINAN.  Aku mengajarkan apa yang aku (pernah) KETAHUI saja, bisa/boleh ditolak, tidak dipercayai, lebih-lebih jika aku mengajarkan GAGASAN/IMAJINASI/KEYAKINAN, sangat boleh untuk ditolak. Tetapi kenyataan di masyarakat, hingga saat ini, terjadi banyak MASALAH, karena "ADU" keyakinan, "ADU" gagasan, "ADU" imajinasi. Ya..., yang bisa di-ADU adalah keyakinan, gagasan dan imajinasi, sebab PENGETAHUAN tidak perlu diadu.

Keyakinan/gagasan/imajinasi adalah PENDAPAT, sedangkan pengetahuan itu BUKAN PENDAPAT, melainkan PENGALAMAN.  Pengalaman hanya dimengerti oleh yang mengalami sendiri, sebab jika pengalaman orang lain yang diceritakan, itu hanya KATANYA.  Kita boleh percaya atau tidak percaya pada KATANYA itu. Orang yang berpengalaman dan bercerita tentang pengalamannya itu, tidak bisa memaksa orang lain untuk memercayainya.

Dalam komunitas Kawruh Jiwa, aku pernah belajar bahwa "pemanggih kepanggih pemanggih, dadosipun sulaya" (pendapat/gagasan bertemu pendapat/gagasan, jadinya beda pendapat/perselisihan), oleh sebab itu, di komunitas Kawruh Jiwa, ketika orang menyampaikan PENDAPAT/GAGASAN, sudah biasa akan "disindir" dengan pernyataan "itu khan pendapatmu, apakah benar demikian?"  Untuk membuktikan sesuatu itu benar/tidak benar, perlu TAHU, bukan hanya YAKIN.  Jika tidak bisa dikeTAHUi, maka pendapat apapun tidak bisa dianggap benar/salah, karena hanya "benar" menurut yang berpendapat. Tetapi berPENDAPAT apapun, itu BOLEH, yang tidak boleh/tidak baik/tidak bijak, adalah jika memaksakan pendapat.

Mungkin baik jika kita bisa biasa MEMBEDAKAN antara KEYAKINAN dengan PENGETAHUAN, membedakan apa yang kita YAKINI dengan apa yang kita KETAHUI.  Penting juga MENYADARI bahwa KEYAKINAN tidak bisa dipaksakan, bahkan PENGETAHUANpun tidak selalu bisa diterima oleh orang lain.  Memaksakan KEYAKINAN dan/atau PENGETAHUAN kita kepada orang lain, hanya akan membuat KETIDAKNYAMANAN hidup. Mempelajari KEYAKINAN dan PENGETAHUAN orang lain, seringkali perlu untuk MENGUJI keyakinan kita sendiri.  Menguji keyakinan orang lain, kadang perlu, untuk menunjukkan bahwa keyakinannya itu memang hanya keyakinan/gagasan/imajinasi, bukan pengetahuan, sebab masih banyak orang yang sebenarnya YAKIN tetapi MERASA seolah-olah TAHU, dan menjadi SOK TAHU, dan kemudian menimbulkan ketidaknyamanan-ketidaknyamanan dalam hidup bersama.

PENGETAHUAN tidak perlu diuji, cukup DIKETAHUI saja, sebab PENGETAHUAN itu hasil dari MENGALAMI, MERASAKAN, bukan dari MENGGAGAS atau MEREKA-REKA, atau MEMATUT-MATUT.

Nah..., tulisan di atas, itu semua hasil GAGASAN/PENDAPATku, tentu dengan berbagai sebab/alasan, hingga aku menggagas demikian itu. Anda yang membaca, boleh sependapat, boleh juga berbeda pendapat.

Catatan:
Kata "PENGETAHUAN" di dalam tulisan ini, berbeda makna dengan kata "pengetahuan" yang secara umum sering dipakai.  Aku menekankan kata "TAHU" dalam arti mengalami/merasakan -- atau dalam bahasa Jawa, lebih tepat disebut "WERUH", sehingga "PENGETAHUAN" yang aku maksud di sini adalah "KAWRUH".  KAWRUH dalam pengertianku adalah "tumanduking weruh dhumateng ingkang dipun weruhi" (keadaan/sikap/tindakan tahu terhadap --sesuatu-- yang diketahui). Sedangkan kata "pengetahuan" dalam arti umum, biasanya menunjuk pada apapun/sesuatu yang dicatat/disimpan di dalam otak manusia, padahal yang dicatat/disimpan di otak, bisa jadi hanya gagasan/imajinasi/keyakinan.
 
Salatiga, 27 Agustus 2012
RT Wijayantodipuro
Komentar Ki Wader Rood:  
Keyakinan belum tentu benar, hanya benar bagi yang meyakini saja. Pengetahuan juga belum tentu benar, hanya benar bagi yang sudah mengetahui saja.

Catata Ki Muhaji Fikriono mengenai kepercayaan:
Adjie Vickry: Dalam bahasa Arab dikenal dua istilah yang dalam bahasa kita diterjemahkan sebagai percaya. Yang pertama adalah iman dan yang kedua adalah i'tiqad. Saya memahami iman sebagai kepercayaan terhadap sesuatu yang transenden, yang mengatasi pikiran/akal. Sedangkan i'tiqad saya pahami sebagai sesuatu yang harus argumentatif dan karenanya harus masuk akal. Untuk memahami yang Maha Positif, akan lebih mudah jika kita berangkat dari negasi-Nya, dan itulah yang menurut saya ditempuh oleh KAS dalam mewejangkan Kawruh Jiwa. Jadi bagaimanapun juga saya tetap memahami intisari KJ sebagai sesuatu yang transenden. Terutama yang berkaitan dengan Barang Asal.
Jika menurut Anda bermanfaat, silakan berbagi tulisan ini ke teman Anda dengan tombol Google+, Twitter, atau Facebook di bawah ini.
Comments
0 Comments
0 Comments

Berikan Komentar

Post a Comment

Translate This Page into