Home » , , , » Pesta Seks di Surga? (Benarkah Adanya?)

Pesta Seks di Surga? (Benarkah Adanya?)

Diceritakan oleh Gugun Arief pada Wednesday, July 19, 2017 | 6:14 PM

Pada ribut ketika ada "ustadz" muda yang bilang kenikmatan surga adalah pesta sex. Yang muslim pun ada yang keburu mencela tanpa menelusuri konteks dalilnya. Coba kita adil dulu semenjak dalam pikiran. Ada nggak teks yang menyatakan itu? Kalo ternyata ada trus apa salahnya Pak Ustadz dong?
Kalau mau jujur akui saja. ADA. (wis kono mbukak'o dhewe Qur'an n buku-buku hadits)

Tetapi bukan di situ masalahnya lantas berhenti. Dari jauh-jauh hari saya menyatakan bahwa akal itu penting untuk beragama. Namun mendudukkannya dengan iman bukan perkara sederhana. Iman dan akal punya jalurnya sendiri-sendiri. Iman itu sederhana. Percaya thokkkk itu iman. Ndak ada pamrih macem-macem. Kita butuh iman bahkan dalam hal-hal duniawi. Menjalin relasi, mengambil keputusan, itu semua pake "iman". You believe and do. Sedangkan akal adalah sistematika berpikir. Ia melewati pertimbangan dan analisa ribet. Ia mencoba memahami secara lebih mendalam dan jeli. Butuh wawasan, latihan dan pengalaman. Kalo punyanya cuma palu, apa-apa terlihat jadi seperti arit eh salah ... paku maksud saya.
Komik Taman Firdaus karya KT Ahmar, terbit 1961

Teks adalah produk budaya. Karena tulisan dan bahasa digunakan hanya oleh manusia (bahasa binatang nggak diitung ya, karena gak pake struktur. Bahasa kalbu apalagi....). Manusia lahir jauh lebih dahulu daripada teks. Nah, beberapa filsuf telah memberi penerangan pada kita bahwa teks bisa berubah makna sejalan dengan progresi masa. Makanya berkembang ilmu-ilmu yang mencoba menelaah soal teks. Jadi membaca teks nggak lagi sederhana. Mau baca teks nggak cukup bisa A-B-C-D atau hijaiyyah. Ketika teks melintasi masa dan bersenyawa dengan banyak peristiwa sejarah, orang perlu hermeunetika, linguistik, semiotika dll.

Terhadap agama apalagi, pembacaan teks banyak banget ilmu kajiannya. Al Quran pun ndak cuma dipake tadarus. Karena beberapa orang ngeyel mau bikin negara pake dasar hukum Al Quran, berkembanglah ilmu tafsir. Tapi yang nggak mau satu golongan (sebuat aja si wahanu) terima adalah realita bahwa TAFSIR ITU TIDAK TUNGGAL.

Surga bisa aja merupakan satu tempat fisik. Meski itu tak musti pasca kematian. Atau bisa jadi sebuah metafor. Sungai susu, bidadari bermata jeli, dan pesta sex-nya (or whatever you call it  😄 ...) bisa dimaknai secara multi layered. Ndak usah dihujat teksnya. 

Memang jadi masalah ketika sebuah teks disampaikan tanpa konteks yang pas. Ngomongin pesta seks di hadapan ibu-ibu pengajian yang mana jangankan mampu menafsir secara hermeunetik (or whatever lah), lha wong pas naik motor di jalan aja bikin kita "ndrawasi". By the way ini bukan penistaan ibu-ibu pengajian lho. Setahu saya ibu-ibu itu dikasih ustadz yang lucu aja udah bikin mereka bahagia dan tebal imannya hahaha (mengamati kelompok pengajiannya ibu saya). Jadi saya rasa gak perlu neko-neko mbahas "divine orgy" macem itu. Apa sih yang dimaui ibu-ibu seusia gitu? Paling-paling ngelihat anaknya sukses. Atau kalo ibu saya paling ya pinginnya anak lanangnya segera bisa beli rumah (dan rabi... :p wes ra usah nge-bully aku....gue santet pake hotwheels lu).

Dengan membaca teks agama memakai tafsir atau takwil maka agama kita akan fine-fine aja di jaman ini. Jaman godzilla gigit besi. Tapi ya siap-siap aja dimaki sebagai Syi'ah atau liberal. Dan bukan tujuan saya merasa lebih baik dari Pak Ustadz muda yang ngomong pesta sex surgawi itu. Sakjane misale surga itu ternyata begitu...kan ya asyik  😋😍 (kowe ki ra sah kemlinthi sok kritis, ha wong tontonanmu Mia Khalifa wae ... ngiahahaha 😅 ... gue dong ... Sophie Dee)

But I have my own opinion about what is paradise or inferno. Apakah saya percaya surga dan neraka? Ya saya percaya. Tapi nggak secara grafis vulgar. 
Lha yang gimana?...
Rahasia.
Astaghfirullah.
Jika menurut Anda bermanfaat, silakan berbagi tulisan ini ke teman Anda dengan tombol Google+, Twitter, atau Facebook di bawah ini.
Comments
0 Comments
0 Comments

Berikan Komentar

Post a Comment

Translate This Page into