Home » , , , , , , » Kenapa Ada Umat Islam Intoleran Dan Ngamukan? (Bagian 2)

Kenapa Ada Umat Islam Intoleran Dan Ngamukan? (Bagian 2)

Diceritakan oleh Gugun Arief pada Sunday, December 25, 2016 | 8:53 PM

Salah satu kemajuan peradaban Islam terjadi pada masa Al Ma'mun yang hidup di era Abbasiyyah. Ilmu pengetahuan berkembang pesat. Tetapi ada hal kontroversial pada masa ini, yakni ketika paham rasionalisme (mu'tazilah) dijadikan paham resmi negara. Barangsiapa melawan akan dijatuhi hukuman dari penjara hingga dibunuh. Jadi rasionalisme emang tak selalu paralel dengan kemanusiaan. Saat itu penguasa menjalankan sebuah kebijakan resmi yang serupa dengan inkusisi ala Gereja abad pertengahan yang dikenal dengan istilah "mihna".

Mihna diawali oleh laris manisnya paham mu'tazilah. Untuk teman-teman pembaca status saya yang belum baca sejarah filsafat Islam, mu'tazilah adalah sebuah kelompok ngaji yang landasan pemahamannya rasional banget. Ayat Quran dan hadits mereka tafsir dengan rasional banget. Pokoknya kalo ada yang menafsir terus nggak masuk akal, tolak. Tapi ini untuk urusan aqidah saja. Untuk hal-hal ritual nampaknya mereka nggak bermasalah.

Bagaimana ceritanya kok paham mu'tazilah dijadikan pendapat resmi negara?

Well, ada yang berpendapat itu karena politisasi agama yang diusung Khalifah Al Ma'mun (786 – 833). Al Ma'mun membutuhkan backup teologis dan filosofis untuk menguji kesetiaan orang-orang di kekuasaannya. "Musuh" terkenalnya adalah Ahmad Ibnu Hambal pendiri mazhab Hambali. Al Ma'mun juga memerlukan rasionalisasi ala Mu'tazili sehubungan dengan persaingan dinasti Abbasiyyah VS Umayyah (yang pada saat itu berkuasa di Andalusia). Jadi paham ala mu'tazilah ini dipakai sebagai alat propaganda.

Karakter berfikir kritis rasional ini pada akhirnya surut setelah era kekuasaan Khalifah Al Mutawakkil (847-861). Akan tetapi sifat-sifat kritis tersebut diwarisi oleh grupnya Ibnu Rushd dalam perdebatan intelektual melawan teologi Ash'ariyah yang dipimpin Al Ghazali. dalam sejarah ternyata Ash'ariyyah lah yang menang dan konon sejak itulah orang Islam kembali taqlid pada ulama dan meninggalkan critical thinking.

 Action figure-nya Ibnu Rushd
Action figure-nya Ibnu Rushd.
Kemenangan Al Ghazali ini ironis. Karena Al Ghazali sendiri adalah ahli filsafat, sedangkan perdebatannya melawan Ibnu Rushd adalah dalam rangka membantah filsafat sebagai jalan medapat kebenaran tertinggi. Dengan kata lain, Al Ghazali memukul telak serangan intelektual filsafat Ibnu Rushd dengan filsafat juga. Buku "Tahafut Al Falasifah" adalah sebuah kritik metodologis terhadap Ibnu Rushd yang sukses. Repotnya...murid-murid Al Ghazali tidak terlalu capable melakukan diskursus yang serupa.

... RALAT SEBENTAR (28 Mei 2017):
Yusron Alifi Maaf, sedikit ralat..

Tahafut al-Falasifah karya Al Ghazali (1058-1111 M) awalnya bukanlah untuk melawan Ibn Rushd (1126-1198 M), tetapi untuk melawan Ibn Sina (980-1037 m) dan Al Farabi (872-950).

Ibn Rushd baru lahir setelah Al Ghazali meninggal. Tetapi benar kalau Ibn Rush mengkritisi tulisan Al Ghazali dengan mengeluarkan buku Tahafut Al Tahafut untuk membantah tulisan Al Ghazali di di bukunya Tahafut al-Falasifah.

LANJUT ....

Ibaratnya nih ... Al Ghazali itu bawa jembatan buat menyeberang, tapi sehabis itu jembatannya dia runtuhkan. Repotlah para pengikutnya yang nggak secerdas dia.

Warisan sifat kritis Ibn Rushd ironisnya kemudian diwariskan ke bangsa Eropa hingga saat mereka bangkit merebut kejayaan yang pernah dicapai orang-orang Islam.

Akan tetapi ... apakah umat Islam sepenuhnya terbelakang setelah kekalahan hegemoni dunia melawan bangkitnya Eropa?

Sebenarnya tidak. Pola pikir mereka tumbuh subur di kalangan orang-orang Persia yang kini menjadi Iran. Ya...orang-orang Syiah :D Makanya Iran adalah satu-satunya negara Islam (itupun kalo masih diakui) yang maju dan memiliki aset kebudayaan yang lengkap. Ini sebuah fakta yang tak mengenakkan bagi mayoritas muslim Sunni. Di saat kolonialisme Eropa merajalela, para reformis Islam ingin menantang hegemoni Eropa lewat gerakan reformasi Islam (mulai dari Pan Islamisme Jamaluddin Al Afghani yang ternyata gagal oleh primordialisme (ashobiyah) orang Arab sendiri). Khomeini pernah juga menyerukan persatuan Islam (hapuskan dikotomi Sunni-Syiah) untuk meng-counter hegemoni Barat. Tapi cilakanya, ajakan itu hanya akan dicurigai sebagai upaya taqiyyah-nya Syiah yang mo menguasai dunia hehehe. Selanjutnya sejarah menunjukkan bahwa Iran (si Syiah yang katanya "laknatullah") ini ternyata lebih maju di segala aspek sains dan teknologi dibanding sekumpulan negara-negara Arab sekalipun.

Sering bingung juga saya ... kenapa kaum radikalis yang punya agenda praktis global tapi yang dituduh pengen nguasai dunia kalo gak Yahudi ya Syiah? Mbuh lah... Kesimpulan saya, rasional critical thinking adalah "jembatan" kemajuan untuk umat Islam. Pada masanya memang rasionalisme Islam generasi awal sempat dipolitisasi dan makan korban. Tetapi saya rasa itu berbeda dengan radikalisme yang melahirkan terorisme di dunia Islam saat ini.

Is Islamic fanaticism born by the grand design?

Partially, I believe that is possible. Tapi kayaknya kok ya males banget cuman nyalahin pihak luar atas kemunduran sendiri...sekarang lihat aja sikap mayoritas umat Islam dalam memahami masalah. Bagaimana mereka menyikapi berita di internet? Masihkah kita menyalahkan grand design jika pola pikir kita masih apologetik?

Bagi kita yang Sunni (oh ya...sudah ada yang nuduh saya Syi'ah belum ya? Agak ketagihan saya ditakfir hehehe) ... apa upaya sebanding dari golongan kita untuk mengejar prestasinya Iran? Come on ... masak hanya mereka yang bisa menandingi hegemoni Barat di Timur Tengah? Come on ... masak kekayaan negara-negara Arab hanya habis untuk propaganda poiltik? Hehehe.

Dan jangan ngomong soal nandingin Yahudi ... wah wah .. Iran aja belum kekejar jeh ....
Lho, kan Iran itu Yahudi! Whattt? HAISSSHHH!!! Duh Gustiii ... epistemologi tiyang-tiyang punika pripun to sakjane?

Ya embuh lah .... Lagian kalo takpikir-pikir apa pulak pentingnya buat gue? Aku ki yo mung sopoooo ngono ....
Jika menurut Anda bermanfaat, silakan berbagi tulisan ini ke teman Anda dengan tombol Google+, Twitter, atau Facebook di bawah ini.
Comments
0 Comments
0 Comments

Berikan Komentar

Post a Comment

Translate This Page into