Home » , , , » Beragama Itu Tidak Pernah Mudah

Beragama Itu Tidak Pernah Mudah

Diceritakan oleh Gugun Arief pada Wednesday, December 9, 2015 | 9:16 AM

Sama seperti ketika membaca iklan-iklan belajar bahasa asing. ""Belajar Inggris 30 Hari", "Belajar Cepat Bahasa Arab", "Belajar Mandarin 12 jam" dll., saya tidak lagi percaya ada cara belajar cepat.

Agama adalah sebuah sistem yang kompleks dan sayangnya semua sistem berbasis kepercayaan adalah unverified by the author. Bagaimana kita tahu sebuah agama itu benar? Ya, karena kita percaya. Percaya tidak perlu bukti. Tentunya kita perlu menegaskan dulu makna dari kata "bukti".

Bukti dalam terminologi agama tidak sama dengan bukti dalam terminologi sains. Karena bukti untuk sekelompok orang beriman tidak akan diterima oleh orang dari keimanan yang lain. Jadi kalau bicara soal bukti kebenaran agama, ini bicara soal testimonial, bukan bukti logis. Catatan penting: Jangan berdiskusi soal bukti ini dengan orang yang tidak terlatih dalam silogisme ya.... hehe, ntar disuruh ngaji lagi.

Kafir
Kafir (Gugun Ekalaya)



Iman itu adalah hal relatif dan pribadi. Bahkan dalam satu kaum agama saja, keimanan mereka bisa beda tafsir. Iman juga bisa merupakan hasil atau sebuah proses. Bagi saya pribadi, iman adalah sebuah proses. Saya memang memilih untuk tidak taqlid kepada mazhab atau tafsir orang lain.

Setidaknya dengan cara keberimanan saya, saya lebih jeli memilih sumber pelajaran agama. Saya juga tidak mudah memihak, menafsir dan melabeli golongan. Saya yakin semua umat beragama itu kompleks. Dari tingkat komunal hingga individu. Misalnya kepada orang yang dilabeli wahabi dan liberal, mereka pun kompleks. Ada yang beragama secara parsial, komunal, individu, dll. Sikap masing-masing terhadap bagian-bagian cara beriman pun beragam.

Belajar agama akan terikat dengan sejarah, kondisi terkini, pendapat-pendapat ulama yang dirujuk. Cara beragama di abad silam pastilah berbeda dengan saat ini, kalau tidak, anda tak bisa membaca tulisan saya ini :) Lhoh? Emangnya FB ada di agama?

Bukan soal FB-nya, Bung. Namun cara antar manusia berinteraksi yang diatur oleh agama, bukan? Misalnya, dalam agama diajarkan bahwa fitnah itu adalah perbuatan keji. Namun agama tidak (atau belum) mengatur apakah menyebar link berita hoax, opini yang tidak ada tabayyun, penghinaan, fitnah lewat medsos itu boleh. Jaman nabi-nabi gak ada medsos soalnya. Lagian ketika semua mengamini bahwa fitnah itu perbuatan haram, kita bisa saja tetap melakukannya secara substansial. Menyebar berita hoax, fitnah via medsos dll. dan kita tetap merasa tak berdosa. Lihat saja berapa banyak dari kita menyebar berita tanpa tabayyun dan kalaupun tabayyun pun dari sumber berita segolongan? Misalnya berita dari Arrahmah tabayyunnya dari Pkspiyungan :D Atau menjelek-jelekkan Islam tabayyun-nya dari grup faithfreedom. 

Saya banyak melihat orang beragama secara instant, kagetan dan eskapis. Tipe beragama semacam ini biasanya di masa remaja nggak belajar agama secara serius. Begitu mulai dewasa mendadak butuh dan mengambil ajaran tanpa kritisisme. Belum lagi ngajinya cuman lewat internet. Langsung "sami'na wa attho'na" tanpa ada "Iqra". Mentalitas ginian gampang mengkafirkan orang dan gampang mencela tafsir keimanan orang lain. Masa remajanya mabok tuak, gedenya mabok ayat.

Jadi beriman adalah proses. Kita akan terpengaruh oleh banyak hal yang dihadapi. Semakin kaya pengalaman, dan pendalaman terhadapnya maka iman kita juga akan berbeda. Iman adalah dialektika batin. Akal, hati, perasaan yang akan dibandingkan dengan pengalaman. Tentunya tiap orang akan berbeda dalam beriman meski dengan satu agama.

Agama itu tak mudah ... namun setidaknya jangan sampai cara kita beragama membuat orang lain jadi sulit.
Jika menurut Anda bermanfaat, silakan berbagi tulisan ini ke teman Anda dengan tombol Google+, Twitter, atau Facebook di bawah ini.
Comments
0 Comments
0 Comments

Berikan Komentar

Post a Comment

Translate This Page into