Home » , » Untuk Apa Kita Memilih Kandidat?

Untuk Apa Kita Memilih Kandidat?

Diceritakan oleh Tricahyo Abadi pada Tuesday, March 4, 2014 | 6:34 PM

Jarang sekali saya memilih dalam pemilihan, karena menurut saya yang kita pilih sama saja, sama-sama tidak layak untuk dipilih. Tetapi baru saja teman sekaligus guru saya memposting quote yang menarik di statusnya: 

"The hardest thing about any political campaign is how to win without proving that you are unworthy of winning."


Di luar siapa yang sebenarnya yang pernah menyatakan kutipan di atas (guru saya tersebut menyebutkan Adorno, sementara wikiquote menyebut Adlai Stevenson yang mengatakan sebagaimana dikutip Herbert Joseph Muller dalam bukunya, Adlai Stevenson : A Study in Values (1967), membacanya membuat saya ingin menerjemahkannya: "Hal terberat dalam kampanye politik adalah bagaimana menang tanpa harus membuktikan bahwa Anda tidak layak menang."

Tidak layak menang? Apa maksudnya? Ini salah satu hal cukup susah dalam menerjemahkan. Mau tidak mau kita harus mencari lebih jauh. Mari kita Googling. Tidak usah terlalu serius, cukup ke Yahoo Answer saja di SINI dan SINI.

Henry Brooks Adams
Henry Brooks Adams (gambar: Wikiquote)

Sebagian orang lain memutuskan untuk tidak memilih atau untuk memilih dengan alasannya sendiri-sendiri: untuk uang, kepentingan, keluarga, atau semata menunaikan hak, dan sebagainya. Namun, pada dasarnya kita tahu beberapa hal rahasia umum di bawah ini. 

Seperti pada umumnya kita telah ketahui bersama, para kandidat dalam kampanye seringkali ditekan dan tergoda untuk membuat janji-janji, bargains, hingga konsesi yang mungkin menyimpang dari moral dan etika. Mereka juga sering tergiur oleh keserakahan, ambisi, dan mengobral apa yang ingin didengar oleh para pemberi suara hanya untuk mendapatkan suaranya, membuat deal-deal di belakang.
Dalam kampanye hal yang pertama kali dilakukan kandidat adalah mencari dana kampanye, yang berarti Anda harus menghubungi setiap relasi yang memiliki kelimpahan uang untuk disumbangkan padanya. Setiap orang yang menyumbang memiliki kepentingan yang berbeda dengan para pemberi suara biasa. Masalahnya adalah bagaimana mendapatkan dana dengan membuat para donatur tertarik tanpa harus mengkhianati khalayak umum?

Kedua, jika kandidat memiliki uang untuk kampanye, maka dia perlu menyampaikan pesannya pada pemberi suara. Sebagian besar kebijakan potensial pun tetap akan mendapatkan dukungan dan penolakan. Menyetujui satu hal berarti keuntungan bagi sebagian orang dan kerugian bagi orang lain. Bertindak sejujur-jujurnya berarti membuat kandidat harus mengumumkan risiko yang harus dihadapi dalam setiap proposal yang diajukannya. Hal itu tentu saja akan membuat orang-orang yang tidak menyukai kerugian yang ada proposal tersebut akan membelot ke lawannya. Maka alternatifnya adalah bertindak abu-abu, tidak jelas, vague alias wagu mengenai detil posisinya dan menyembunyikan risiko-risiko tersebut. Ketidakjelasan posisi ini dapat disamarkan melalui pencitraan karakter-karakter lain yang dimiliki seorang kandidat seperti perawakan atau ciri fisik lain yang sebenarnya tidak berkaitan dengan potensi yang dia miliki (kecuali Anda penganut Fisionogmi yang mempercayai bahwa karakter seseorang dapat dinilai dari ciri dan bentuk tubuh seseorang.)

Ketiga, di luar proposal kebijakan, akan ada karakteristik dari kandidat yang membuatnya kurang cocok memegang jabatan. Hal itu membuat lawan sering memakai strategi mencari-cari keburukan dengan kampanye hitam ini untuk memenangkan pemilihan, walau sebenarnya kadang jauh panggang dari api seperti kata sinis Henry Brooks Adams: "Practical politics consists in ignoring facts". Pertanyaan moralnya bagi semua kandidat adalah  di mana kita harus menarik garis antara keterangan yang dianggap sah dengan penyelidikan yang mutlak di wilayah pribadi dan privasi. Menjalankan standar moral yang terlalu tinggi untuk menjalankan permainan secara fair telah dipahami dengan baik sebagai tindakan bunuh diri dalam pemilihan khususnya ketika lawan tidak mempunyai moral dan etika.

Intinya adalah bahwa cara termudah untuk memenangkan pemilihan adalah menanggalkan moral Anda di rumah dan segera keluar memulai kampanye busuk ini. Bagaimanapun juga, para kandidat yang telah bertindak seperti di atas telah menunjukkan bahwa sebenarnya mereka tidak layak memegang jabatan meskipun dalam pemilihannya mereka seringkali akan menang.

Tindakan seperti itu merupakan tindakan yang tidak patut. Dalam rangka inilah Adlai Stevenson kemudian menyatakan: "... yang paling sulit adalah bagaimana menang tanpa harus membuktikan bahwa kita sebenarnya tidak layak untuk dipilih ataupun menang."

Siapakah Yang Pantas?

Contoh menarik mengenai kepantasan ini adalah pernyataan atau pertanyaan menarik yang sudah sering kita baca bahkan di pantat-pantat truk: "Piye Le, isih enak jamanku, to?" (Bagaimana, Nak? Masih enak waktu aku menjabat, kan?)

Sekadar tambahan, kemarin saya juga mendapatkan pertanyaan atau pernyataan unik yang baru saya dengar: "Piye Ngger, glegerku iki cocok apa ora?" (Bagaimana menurutmu, Nak, perawakanku ini cocok apa tidak untuk menjabat?) Gleger dalam bahasa Jawa atau perawakan tubuh seringkali menentukan dalam pemilihan di dalam masyarakat Jawa. Maka sering timbul istilah "glegere ora cocok," atau "ora pawakane".

Memperhatikan pertanyaan atau pernyataan politis itu, saya sendiri dalam hati berkata, "Sesuai hegemoni cerita dongeng, saya tentu berpikir bahwa seorang raja harus tinggi besar berwibawa. Namun menilik berbagai pertimbangan di atas, wait a minute, apa sebenarnya yang dipilih dalam satu pemilihan kandidat?"

Namun, gleger juga bisa diartikan nonfisik, yaitu pembawaan atau segala karakter yang ada di dalam seseorang, termasuk dalam perilaku dan bertindak dalam kepemimpinannya nanti. Di situlah sebenarnya kita mempunyai harapan pada seorang kandidat.

Memilih kandidat yang tulus memang tidak semudah membalik tangan. Tentang ini, Henry Adams juga pernah menuliskan: "Simplicity is the most deceitful mistress that ever betrayed man." Jawaban sementara saya tak lain dan tak bukan adalah nasib masing-masing pemilih. Begitulah pula rasanya yang dipikirkan para pemberi suara. Jika menyangkut kepentingan saya, tentulah saya memilih pertama-tama yang menguntungkan saya, dan selanjutnya jika bisa bagi orang lain dan semua yang dipimpinnya. Itulah kepentingan yang terwadahi dalam harapan ketika memilih. Terakhir, saya juga mau menutupnya dengan kutipan lagi yang pernah saya baca di internet entah dari siapa dan dari mana berasal: "kehidupan ini adalah seperti kotak Pandora, ketika segala keburukan menghambur di dunia, kita masih dapat bertahan dengan satu hal yang tersisa, yaitu harapan. Dari sanalah kita bisa memutuskan."

Cerita Lain: Apa Kata Para Tokoh tentang Politik dan Pemilihan Pemimpin?
Jika menurut Anda bermanfaat, silakan berbagi tulisan ini ke teman Anda dengan tombol Google+, Twitter, atau Facebook di bawah ini.
Comments
0 Comments
0 Comments

Berikan Komentar

Post a Comment

Translate This Page into