Home » , , » Dari Hal Sederhana berakhir Bahagia dan Bencana

Dari Hal Sederhana berakhir Bahagia dan Bencana

Diceritakan oleh Tricahyo Abadi pada Monday, April 1, 2013 | 11:26 PM

“Bebal benar!”

Ucapan seorang guru itu muncul di depan kelas menghakimi seorang anak SMA tak bisa mengerjakan tugas di papan tulis. Masalahnya, anak tersebut tidak bisa mengerjakan soal bukan karena terlalu bodoh. Ketika proses ceramah gurunya berlangsung, memang anak tersebut tidak dapat menangkap apa yang sedang dijelaskan. Dan itu pun bukan karena gurunya yang tidak pandai menerangkan, bukan pula karena siswa tersebut duduk di deretan belakang, tetapi karena temannya di  sebelah ngobrol cukup keras dengan sebangkunya bahkan mengajak teman lain sehingga mengganggu proses menyimak sekitarnya.



Ya, mungkin guru tersebut mengetahui kejadian itu sehingga beliau memang sengaja memaki anak itu sebagai hukuman. Tetapi mungkin juga tidak, saya tidak tahu. Yang saya ketahui bahwa otak anak SMA itu terhalang (mental block) untuk mengikuti pelajaran-pelajaran selanjutnya dari guru tersebut. Padahal itu terjadi di awal semester. Saya mengetahui apa yang terjadi pada anak tersebut karena dia adalah saya sendiri, dan saya menceritakan di sini bukan untuk menghakimi guru saya tersebut.  

Poin saya adalah, hal yang kelihatan sederhana pun ternyata tidak sesederhana kenyataan di baliknya, bahkan rumit. Dari kejadian sederhana seperti di atas, bisa kita pelajari beberapa hal seperti bahwa sedikit kata (ucapan) yang bisa berdampak besar, dan di sisi lain persoalan kecil itu bisa kita pakai untuk membongkar persoalan-persoalan yang terjadi di kelas. Sebenarnya di sinilah perlunya pendekatan-pendekatan Ilmu Pengetahuan Sosial (social studies) seperti Deep Dialogue/Critical Thinking yang selama ini diunggulkan oleh kantor saya bekerja. Di balik kejadian itu ada beberapa fakta yang harus terungkap untuk dapat memahaminya, semisal bahwa ternyata kelas terlalu besar untuk dikuasai seorang guru sehingga terjadi “kegaduhan” kecil di barisan belakang, atau bahwa ternyata guru itu tidak begitu memperhatikan di belakang sana ada kegaduhan karena beliau berkonsentrasi terhadap apa yang beliau jelaskan, atau hal-hal lain yang sebenarnya bisa dan menarik untuk kita ungkap dalam Penelitian Tindakan Kelas. Dari saling berdialog secara mendalam untuk memahami masing-masing tanpa memandang remeh, dihasilkan satu solusi bukan justru persoalan baru.

Empat Kata yang Bisa Merubah Dunia

Empat kata yang merubah hidupku :)
Cerita serupa saya dapatkan dari seorang kolumnis tetap salah satu harian terbesar di Chicago dan penulis buku yang terkenal. Dalam sebuah artikelnya dia menulis judul “Four Words that Changed a Life”. Di dalamnya, beliau mengilustrasikan dua cerita. Cerita pertama, seorang ibu yang mengatakan pada anaknya, “Terlalu bodohkah kamu untuk bisa melakukan sesuatu dengan benar?” Kata-kata itu diucapkan sang ibu semata ketika anak itu berjalan menjauh darinya. Merasa dimarahi, anak itu menunduk dan pelan-pelan kembali ke sisi ibunya. Mungkin bukan perkara besar, tulis kolumnis tersebut, dan mungkin bukan sesuatu yang cukup untuk dikatakan suatu kekerasan yang bisa dijerat undang-undang tentang Perlindungan Anak. Namun, kadang perkara atau kejadian kecil berdampak begitu lama. Kata-kata yang sedikit seperti itu bisa terngiang pada anak kita terlalu lama hingga kita sebut selama-lamanya.

Hal itu mengingatkan kolumnis tersebut tentang kisah kedua yang pernah dia dengar belum lama, yaitu tentang seorang penulis professional bernama Malcolm Dalkoff. Malcolm ketika kecil sangat pemalu, tidak percaya diri, dan menutup diri sehingga hanya memiliki sedikit teman. Suatu saat, guru bahasa Inggris-nya memberi tugas menulis bagian akhir sebuah novel berdasar versi masing-masing murid. Sampai saat ini Malcolm tak dapat mengingat persis apa isi cerita dari tugas yang telah dikumpulkannya. Yang dia ingat, dan tak kan pernah dia lupakan, adalah empat kata di tepi kertas tugasnya: “This is good writing.” Empat kata, dan itu mengubah kehidupan Malcolm hingga menjadi penulis profesional, semenjak dia membacanya. Dia menjadi percaya diri menjadi penulis, dan bahkan dia meneruskan kepercayaan dirinya tersebut pada seorang wanita lain yang kini jadi istrinya dan akhirnya menjadi penulis juga. Tulisan kolumnis itu membuka wawasan pembacanya, dan bahkan mengilhami dan menjadi kisah-kisah inspirasi berbagai buku yang terbit belakangan, termasuk buku cara mengasuh anak, buku pelajaran bahasa Inggris, buku mengasuh anak Positive Parenting, buku motivasi psikolinguistik Positive Words, Powerful Results: Simple Ways to Honor, Affirm, and Celebrate Life, bahkan buku agama The Words that Inspired the Dreams. Ya, semuanya berawal dari tulisan sederhana seorang penulis.

Masih soal penulis tersebut, pada Juli 2001 ia menerima sebuah telepon yang menurutnya bernada mengancam dari seseorang wanita yang dikenalnya 14 tahun sebelumnya. Setahun kemudian, wanita itu meneleponnya kembali ketika ia tengah melakukan tour promosi bukunya menjadi best-seller. Beberapa bulan kemudian, sebuah email dari wanita itu terkirim ke hariannya.


status teman saya
Dan akhirnya, peristiwa pribadi di masa lalu dengan wanita tersebut membuatnya dipecat dengan dakwaan secara serius melanggar standar etika jurnalistik surat kabar. Tiga puluh tiga tahun tahun
karir sesudah menginspirasi pembaca setianya lewat artikel di berbagai media dan buku, karirnya pun runtuh oleh investigasi dalam hitungan hari yang telah dilakukan hariannya. Sesuatu hal yang dia anggap angin lalu, ternyata berdampak dahsyat bagi dirinya. Nasibnya mirip isi artikel yang pernah dia buat sendiri. Terakhir, saya menulis ini karena sebuah status sederhana dari teman saya di facebook. Semua berawal dari satu hal yang sederhana.
Jika menurut Anda bermanfaat, silakan berbagi tulisan ini ke teman Anda dengan tombol Google+, Twitter, atau Facebook di bawah ini.
Comments
0 Comments
0 Comments

Berikan Komentar

Post a Comment

Translate This Page into