Home » » Motives, Drives, dan Needs: Dasar Perilaku dan Tindakan Manusia

Motives, Drives, dan Needs: Dasar Perilaku dan Tindakan Manusia

Diceritakan oleh Tricahyo Abadi pada Wednesday, March 27, 2013 | 9:17 AM

"Menjadi orang mapan bisa berpikir macam-macam. Beda dengan jadi orang miskin memikirkan bagaimana mengisi perut saja susah.” 

Sebenarnya saya ini termasuk orang yang tidak neko-neko. Lebih tepatnya, saya termasuk pemain aman yang gampang puas, yang memenuhi pepatah: “Orang yang takut berbuat salah atau dosa, biasanya tidak berbuat apa-apa dan he is nothing.” Jika ada pengangguran yang benar-benar sukarela menganggur, maka seringkali salah satunya adalah saya. Dan juga ketika saya tengok sekitar, saya menjadi heran melihat tingkah-tingkah beragam karena “penyakit” manusia itu: tidak gampang puas. Sekarang saya menyadari bahwa gampang puas ini juga suatu penyakit yang mendekati malas alias procrastination.

Rupanya dari titik ketidakpuasan itu ambisi, kreasi dan inovasi bisa muncul. Maka, kemudian saya tidak heran kalau teman sekantor saya ada yang bisa membuat akuarium dan menciptakan lampu dim sepeda motor yang dibuat dari puluhan lampu LED kecil. Kalau suatu saat kita mendapati sekitar kita penuh dengan hal-hal baru, termasuk pemikiran nyleneh, karena itu hanyalah secuil dari keliaran jiwa manusia.

Memikirkan hal seperti itu, saya teringat definisi Fillmore mengenai motives, drives, dan needs. Menurutnya, motives adalah suatu kondisi atau kekuatan dorongan yang menggerakkan organisme untuk mencapai tujuan tertentu atau segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya kekuatan untuk bertindak/berbuat. Drives dikonotasikan sebagai dorongan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar sedangkan needs adalah dorongan yang berkaitan dengan kurang terpenuhinya kebutuhan biologis. Motif, digunakan untuk dorongan selain drives dan needs.

Bisa jadi begitu! Misalnya Maslow, mengatakan bahwa motif ini menggerakkan manusia untuk memenuhi kebutuhan fisiologis: rasa aman (security), sosial, pengakuan dan kepuasan. Atau menurut McClelland, bahwa di dalam jiwa manusia terdapat virus mental yang dinamakan need for achievement untuk melakukan kegiatan ke arah yang lebih baik, efisien dan gemilang. Atau seperti yang diungkapkan Freud, bahwa semua itu adalah dorongan insting hidup (mencintai, mencipta) dan insting mati (merusak, membenci, menghancurkan).

Makan kebutuhan dasar. Kalau banyak?
Pada suatu kesempatan lain saya sampai pada kesimpulan yang serupa dengan apa yang disabdakan Freud, saya menganggap tidak ada manusia yang baik dan jujur! Di balik semua tindakan manusia ada motives, drives, dan needs. Sebagaimana cerita teman dari Maluku tentang bagaimana manusia bisa sedemikian brutalnya ketika terjadi kerusuhan Ambon, yang mengingatkan saya pada cerita-cerita lain tentan saudara kita di Ternate, di Sampit, di Aceh, Poso, Papua, dan lainnya. Saya mendengar bagaimana mereka, menurut versi mereka, menggambarkan suasana di daerah mereka masing-masing. Begitu juga cerita teman perantau dari Sulsel. Datang ke Malang dijanjikan pekerjaan dengan beberapa syarat. Namun sesampai di sini dibiarkan terlantar, untuk makan pun susah payah. Pernah pada suatu pagi saya terlambat masuk kantor karena ada seseorang yang menahan untuk curhat tentang dosanya masa silam. Aibnya, tentang noda hitam yang akan membekas dalam dirinya dan bagaimana orang tuanya menyikapi hal itu. Buntunya komunikasi membuat hubungan dengan orang tua dan keluarganya berada di ambang batas kesabaran diri: “mengapa di mata bahkan orang tua sendiri saya serba salah karena kesalahan masa lalu?” Itulah pertanyaan yang diajukannya yang saya tak mau menjawabnya, karena saya pikir jawabnya sudah dia punyai.  Pelan-pelan kesimpulan akan semakin jelas. Paragraf di bawah ini mungkin bisa menyimpulkan apa yang harus dia lakukan.
Sebegitu kejamnya manusia saling merugikan satu dengan yang lain, membunuh, menghasut, menggunjing, memfitnah, berdusta, memeras, berkhianat, menyalahkan orang lain bahkan anak kandungnya sendiri, dan dengan segala cara, hanya untuk satu hal, persis seperti kata teman saya, bahwa inti hidup ini adalah: berjuang untuk hidup! Struggle for life, bagaimana bisa bertahan hidup, yang dipertahankan adalah kehormatan dan kepuasan (obsesi) dirinya. Itu adalah isi perut, bawah perut: nafsu, dan atas perut mereka: dada, yang menurut manusia ada nurani suci sebening kristal yang mereka sebut kebaikan, namun dalam hidup yang sebenarnya, riilnya, jarang sekali tampak. Bahkan tolong-menolong, yang tanpa pamrih pun, tetap ada sesuatu di balik itu. Kalaulah bisa itu disebut, simbiosis mutualisme. Sungguh tumbuhan yang paling luar biasa jenius untuk bertahan hidup! (Saya tak mau menyebut diri sendiri binatang karena itu terkesan kasar bukan? Haha, sungguh aneh manusia mempunyai rasa malu).

Pernah saya sampai pada suatu titik di mana saya tak lagi memercayai seseorang, yang kupercaya adalah Aku, bagaimana Aku menentukan hidupku. Sebisa mungkin, saya takkan merugikan orang lain, tapi saya mengingatkan diri bahwa itu bukanlah kebaikan, tetapi tak lain adalah simbiosis yang akan saya buat dengan sesama dan sekitar saya. Tentang baik buruk ini, saya kutip kata-kata Pram:
Once when I was small I was told the tale, and also learned from books, that evil would be defeated by good. What I was never told is that, naturally, good would also be defeated by evil. A link in a continuous chain. If there were no such chains, one would no longer know good men from bad. A never-ending vicious circle. (Pramoedya Ananta Toer)
Tentu kesimpulan saya belum tentu benar, sebagaimana dijelaskan oleh Chimamanda Ngozi Adichie di TED bahwa satu sisi cerita, satu sisi pandang itu berbahaya karena dapat menimbulkan stereotipe. Bahaya stereotipe ini bukan karena hal itu tidak benar, tapi semata-mata karena tidak lengkap. Harus disadari dalam bercerita ada orang yang harus berjuang untuk memenuhi motif dasarnya, biological drive-nya (cari bayaran untuk makan, minum sehari-hari). Di satu sisi, orang-orang lain ada yang memenuhi motif sosialnya, atau motif lain. Dan, biarlah saya sebutkan di sini, minimal supaya saya sendiri dapat mengingatnya. Contoh motif-motif itu antara lain seperti ini:
  • Menampilkan sebuah blog seperti ini bisa jadi lebih merupakan motif mendapat recognition daripada sebuah narcissism.
  • Jika kita sering menolong orang lain memperbaiki komputernya, atau rajin bekerja, atau menepati janji, mungkin kita sedang memenuhi motif untuk dibutuhkan yang membuat seseorang cenderung berbuat baik, atau motif memperoleh perlakuan dan penghargaan yang sama.
  • Selanjutnya, ada motif untuk berorganisasi yaitu keinginan untuk hidup bersama dengan orang lain atau oleh orang sosiologi disebut zoon politikon.
  • Jika kita berusaha keras menghimpun kekayaan, boleh jadi kita terdorong motif memperoleh status sosial.
  • Ketika teman saya lebih suka meresapi sastra Kawruh Begja-nya Ki Ageng Surya Mentaram daripada mengaji Al-Quran, boleh jadi dia mempunyai motif sosial yang berhubungan dengan value system.
  • Ada lagi motif obyektif yang ditujukan secara efektif dengan lingkungan, di antaranya adalah eksplorasi (memperoleh kebenaran obyektif), manipulasi (memanfaatkan lingkungan), interest (pemusatan mental pada tugas obyektif). Bukankah yang terakhir ini sebelumnya sering terdengar sebagai hal negatif?
Ketika menulis ini, secara aneh saya kembali kepada pelajaran kuliahku yang dulu sama sekali tidak saya senangi dan apalagi saya perhatikan. Tergiring perlahan tapi pasti. Saya manusia yang tidak baik dan jujur tetapi malu menyebut diri jahat.
Jika menurut Anda bermanfaat, silakan berbagi tulisan ini ke teman Anda dengan tombol Google+, Twitter, atau Facebook di bawah ini.
Comments
0 Comments
0 Comments

Berikan Komentar

Post a Comment

Translate This Page into