Home » , , » Bisa Rumangsa, dudu Rumangsa Bisa (Terjemahan Buku Langgar Catatan #5: Junggring Salaka Dhingklik Saoto)

Bisa Rumangsa, dudu Rumangsa Bisa (Terjemahan Buku Langgar Catatan #5: Junggring Salaka Dhingklik Saoto)

Diceritakan oleh Tricahyo Abadi pada Wednesday, March 20, 2013 | 12:53 PM

Ini adalah terjemahan surat kelima Ki Ageng Suryomentaram dalam Buku Langgar yang berjudul: Junggring Salaka Dingklik Saoto. Kali ini saya salin langsung terjemahan bebas Ki Muhaji Fikriono, pengarang buku Puncak Makrifat Jawa. Tidak seperti terjemahan Ekstase, Surat Kesembilan milik Ki Hadi Soedjanmo yang saya comot tanpa izin, kali ini saya mendapat izin dari Ki Adji.

Terjemahan ini beliau selesaikan di Bintaro, 20 Maret 2013 dan diposting pada note beliau di facebook. Jika melihat judulnya yaitu Materi Junggringan Suryomentaraman Barito 21, Minggu tanggal 24 Maret 2013, rupa-rupanya Ki Adjie--seperti Ki Hadi--juga bangkotan pelajar kawruh. Sebenarnya saya ingin mencoba membuat terjemahan tafsir sendiri, namun belum sempat. Akhirnya sendhen pada Wit Galinggang, yaitu beliau. Hehe. Nanti kalau sudah hilang capek saya, mungkin saya coba memaknai sendiri.

Terjemahan

 Subjektivitas Manusia

Di kahyangan Sang Hyang Jagad Nata sering berlangsung musyawarah yang diistilahkan sebagai jonggringsalokan atau junggringan. Pesertanya adalah para dewa. Mereka sama sekali tidak pernah berdebat. Yang ada hanya kandha-takon. Kandha adalah menyampaikan pendapat, tanpa ada unsur menggurui apalagi menghakimi. Sementara takon adalah bertanya. Artinya, dalam jonggringsalokan itu apabila seseorang merasa tidak mengetahui satu hal, ia dapat leluasa bertanya pada forum.

Ketika ada manusia yang memiliki ketajaman pandangan sebagaimana para dewa di kahyangan maka dengan sendirinya ia akan tertarik dan terhubung oleh sebuah kekuatan semesta yang dapat meningkatkan kualitas kemanusiaannya hingga ke maqam tertinggi, setingkat para dewa di kahyangan. Meskipun secara lahiriah barangkali ia seorang penjahat sekalipun, tetapi bila dirinya memiliki ketajaman pandangan sebagaimana para dewa di kahyangan dan pandangan itu dijaga dengan sedemikian rupa, secara otomatis dirinya akan terbebas dari segala penderitaan.

Bagi manusia yang telah bermatadewa, hidupnya hanya terkonsentrasi pada satu hal saja, yaitu sih. Sih adalah rasa kasih sayang tanpa syarat terhadap sesama umat manusia. Tenteramnya hati manusia bermatadewa adalah ketika ia dapat membahagiakan orang lain. Sesulit apa pun jalannya, akan ia tempuh dengan suka cita. Tak heran, justru di tengah kesulitan jalan untuk membahagiakan banyak orang, sih yang ada dalam diri si manusia bermatadewa malah terus berkembang pesat dengan suburnya. Kasih sayangnya adalah sebagaimana seorang ibu yang setia merawat bayinya yang sedang sakit.

SIH saya ngredha ngulataken anakipun ingkang sakit
Kesabaran yang dimiliki oleh manusia bermatadewa, lebih luas dari samudra dan jagad raya. Bagaikan seekor kucing yang lapar, ia tetap setia menunggu tikus yang asyik bermain-main di dalam lubang karena tidak tega mengusik keceriaannya. Bahkan jika dibahasakan, tekadnya untuk membahagiakan umat manusia di dunia, “Meskipun bumi telah merapat dengan langit, tetap ada celah bagiku untuk menaburkan kasih sayang pada apa dan siapa saja.” Ibarat seorang Burisrawa yang penuh kesabaran menunggu Sembadra, pujaan hatinya. Bagi Burisrawa, jangankan hanya jandanya—jika Sembadra memang berkenan menjadi istrinya—setelah menjadi mayat sekalipun, ia siap menanti dengan senang hati.

Karena gelora rasa kasih di dalam jiwanya yang demikian besar itu, pandangan matadewanya pun tak lagi tertabiri oleh hijab pembeda. Si manusia bermatadewa dapat melihat dengan sedemikian jelasnya, bahwa sampai kapan pun, pada hakikatnya setiap orang akan senantiasa merasa benar sendiri. Gelora kasihnya yang membuncah dalam dada telah mengatasi hal itu. Sampai di sini, tangan Ki Ageng Suryomentaram gemetar ketika berusaha untuk melanjutkan tulisannya. Ya, apa yang telah ditulisnya ini, sesungguhnya adalah sesuatu yang sangat rahasia.

Namun dengan tangan yang gemetarnya kian hebat, Ki Ageng Suryomentaram tetap melanjutkan menulis, “Merasa benar, sesungguhnya adalah mahkota kebesaran Batara Wisnu.” Belum lagi tenang hatinya, karena telah menentang arus, tiba-tiba ada sebuah kekuatan yang mendorongnya untuk lebih blak-blakan: “Merasa benar, adalah mahkota-Ku! Aku tidak pernah salah!”

Saat membaca paragraf di atas tadi, Ki Ageng mengingatkan sidang pembaca agar tidak sampai seperti seorang Arjuna. Ya, saat tabir yang menutupi pandangan mata Arjuna tersibak, sehingga langsung menyaksikan hakikat, spontan ia berkata, “Jika dalam sedetik saja Aku lengah untuk melakukan penjagaan, seluruh manusia di muka bumi ini akan binasa. Kini mereka semua dapat bersuka cita karena berada di bawah perlindungan-Ku. Mereka bergembira, karena tersinari oleh cahaya mahkota-Ku.”

Oleh karena itu, lanjut Ki ageng, ketika manusia terlanjur melakukan kesalahan dalam bertindak, merasa menyesal, gundah gulana, dan tidak tahu lagi harus berbuat apa, maka obatnya yang mujarab hanya satu, yaitu berpijak pada realitas hidup yang dihadapi saat ini, di dunia ini, dalam ke-apaadanyaan-nya. “Tidak ada yang akan menghukummu, jika kamu melakukan kembali kesalahan yang sama, dan sekali lagi kamu mengulangi, maka kamu pasti akan selamat.” Begitulah, karena hanya keledai yang dapat terperosok dalam satu lubang berulang-ulang.

Yang mungkin untuk dapat membuat seseorang tidak lagi salah, adalah pengetahuan yang benar-benar nyata; tidak sebatas informasi katanya-katanya, pantasnya-pantasnya, apalagi duga-duga. Dengan berdasar atas pengetahuan yang benar-benar nyata itu, maka apa dan siapa saja tanpa terkecuali akan tunduk kepadanya. Dan dia tidak hanya dapat melampaui ruang, tetapi juga waktu.

Berbeda sekali dengan orang yang hanya berpijak pada informasi katanya-katanya, pantasnya-pantasnya, serta duga-duga belaka. Orang semacam ini bagaikan seorang Petruk yang menjadi raja. Di mana singgasana kebesarannya hanyalah sebuah bangku kecil berkaki tiga (dingklik saoto) yang sangat sempit, pendek, dan ringkih.

Seorang Petruk yang menjadi raja, ketika diberikan persembahan buah durian di hadapannya, ia akan mengambil bijinya dan membuang dagingnya. Setiap kali mendengar pendapat orang lain yang tidak sesuai dengan jalan pikirannya, dingklik saoto yang menjadi singgasananya pun akan kehilangan keseimbangan. Dan, kejatuhannya dari singgasana pun tak terelakkan. Ketika tubuhnya sudah babak belur berdarah-darah, Petruk berusaha membaca mantra-mantra yang diharapkan dapat membantu untuk mempertahankan singgasananya yang terguling. Dan yang bisa dilakukannya adalah menjelek-jelekkan keyakinan orang lain sebagai sarana untuk menghibur diri. Hingga akhirnya, Petruk yang sudah babak belur itu kian terpuruk ke dalam comberan kenistaan. Ironisnya, si Petruk yang masih merasa sebagai seorang raja tak pernah menyadarinya.

Orang yang berpijak pada pengetahuan yang benar-benar nyata; tidak sebatas informasi katanya-katanya, pantasnya-pantasnya, apalagi duga-duga; setiap kali bertemu orang yang merasa benar sendiri atau bahkan paling benar, langsung menyadari bahwa kecenderungan setiap orang memang seperti itu. Maka ia pun tetap gembira, karena dapat bercermin; melihat wajahnya sendiri yang juga tak jauh berbeda.

Perasaan merasa benar itu, jika harus diucapkan atau ditulis tidak akan pernah tuntas karena sangat misterius. Jangankan umat manusia, bahkan para malaikat yang terkenal ahli ibadah pun tak dapat memahaminya dengan tuntas.

Karena sangat rumit dan penuh misteri, jika ada seseorang yang berusaha mengusik kemapanan mereka yang tengah asyik merasa benar sendiri; berusaha mengingatkan bahwa sesungguhnya mereka telah melakukan kesalahan; jika orang tersebut melakukannya tidak dengan kasih sayang yang tulus, maka ia sendirilah yang justru akan celaka. Ia akan menjadi terasing bahkan dari dirinya sendiri. Karena jumlah orang-orang yang merasa benar sendiri semakin hari semakin bertambah, dan ia kian gigih mendakwahi mereka agar mau mengikuti dirinya, maka begitu orang-orang yang merasa benar sendiri itu telah mengikutinya, ia pun kelabakan sendiri. Ia menjadi semakin bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.

Berbeda sekali ketika orang memiliki kebijaksanaan dan berpijak di atas kasih sayang yang tulus. Dengan penuh kesadaran ia memahami bahwa setiap orang memang sudah sepantasnya merasa benar, bahkan memang harus merasa benar. Tetapi, merasa benar yang betul-betul benar. Yaitu bermahkota kebenaran agung yang didapatkan tanpa dengan menyalahkan apa dan siapa pun. Rasa benar yang berbalut tulusnya kasih sayang yang tak pernah menyalahkan semacam itu, dengan sendirinya akan tumbuh dan berkembang tanpa memerlukan rekayasa sebab setiap manusia akan merasa diorangkan. Ya, karena bahkan orang-orang yang telah menjadi kerak di neraka sekalipun, akan tetap menganggap dirinya sebagai orang benar.

Sumber: Junggring Salaka Dhingklik Saoto
Jika menurut Anda bermanfaat, silakan berbagi tulisan ini ke teman Anda dengan tombol Google+, Twitter, atau Facebook di bawah ini.
Comments
0 Comments
0 Comments

Berikan Komentar

Post a Comment

Translate This Page into