Home » , , , , » Masjid dan Politik

Masjid dan Politik

Diceritakan oleh Gugun Arief pada Wednesday, May 2, 2018 | 12:43 PM

Satu atau dua temen saya pernah bilang kalau mereka melakukan walk out saat jum'atan. Itu gara-gara khotibnya ceramah sambil memaki lawan politiknya. Padahal khotbah provokatif ada manfaatnya juga loh... biar gak ketiduran.

Masjid jadi arena politik sesungguhnya bukan masalah baru. Bahkan perkembangan Islam pun tak lepas dari pemanfaatan masjid sebagai "sasana" kebudayaan dan tentunya juga politik. Pastinya politik masa itu belum sekompleks saat ini.

Halaqah di masjid Nabawi (sumber foto: Bengkel Pemikiran)

Islam adalah agama yang punya kadar pelibatan urusan duniawi paling tinggi dibanding agama lain. Tak hanya mengatur spiritualitas, melainkan juga mengatur setiap sendi pokok kehidupan masyarakat. Dikatakan mulai dari urusan kamar kecil hingga meja makan aja ada aturannya. Apalagi soal politik.

Masjid, dalam simpulan saya, adalah cultural basecamp umat Islam. Masjid berfungsi sebagai sekolah, tempat beribadah, tempat mengadakan pertemuan dan bahkan juga untuk latian fisik. Selain keluarga, masjid adalah "kawah candradimuka" untuk menyiapkan generasi Islami.

Berdasarkan ini, maka secara prinsip Islam tak memisahkan antara masjid dan politik.

Sekarang soal politik. Politik modern tentunya lebih kompleks dibanding pada abad kenabian. Sebagaimana agama, dimensi politik tentu tidak tunggal. Politik tak cuma mengatur kebijakan (yang dampaknya ke masyarakat langsung) namun juga soal "bargaining of power" juga kompetisi aspirasi. Kompetisi aspirasi politik, tentu tidak seanggun yang kita bayangkan. Senaif kalo kita percaya bahwa politik itu semata-mata demi rakyat.

Politik modern ada banyak aspeknya. Tak cuma membahas kemaslahatan (sebagaimana yang dicita-citakan Islam) melainkan juga intrik-intrik dan dinamikanya. Bagi saya, yes Islam tak bisa dilepaskan dari politik, namun kita juga musti memilah politik macam apa?

Dalam pemahaman saya, yang musti dipisahkan dari ruang keagamaan adalah politik praktis. Yakni politik yang berhubungan dengan relasi kekuasaan termasuk intriknya, aspirasi partai dan atau semacamnya. Hal semacam ini tentu tak berhubungan langsung dengan kemaslahatan umat, melainkan lebih ke permainan kekuasaan belaka.

Masjid, dalam simpulan saya, adalah cultural basecamp umat Islam. Masjid berfungsi sebagai sekolah, tempat beribadah, tempat mengadakan pertemuan dan bahkan juga untuk latian fisik. Selain keluarga, masjid adalah "kawah candradimuka" untuk menyiapkan generasi Islami.
Berdasarkan ini, maka secara prinsip Islam tak memisahkan antara masjid dan politik.

Aspirasi Umat Islam vs Aspirasi Politik Umat Islam

Saya pikir perlu dibedakan antara ASPIRASI UMAT ISLAM dengan ASPIRASI POLITIK UMAT ISLAM. Ini dua hal berbeda. Saya meyakini bahwa memenuhi aspirasi umat lebih wajib daripada memenuhi aspirasi politik umat Islam. Aspirasi umat berhubungan dengan kebutuhan keimanan sedangkan aspirasi politik lebih karena keinginan berkuasa. Kebutuhan keimanan tak harus disuarakan oleh partai karena toh agama itu hak asasi manusia, namun keinginan berkuasa tentunya hanya bisa diwujudkan secara konstitusional. Yakni lewat partai-partai berbasis Islam.

Dengan pemilahan demikian, kita menegaskan bahwa Partai Islam tidak sama dengan Islam itu sendiri. Karena Islam adalah agama, sedangkan partai Islam hanya aspirasi keterlibatan politik praktis oleh sebagian umat Islam. Masih terasa ribet nggak?

Gini lho...

Umat Islam disediakan waktu dan tempat ibadah di pabrik-pabrik, diberi keluasaan menjalankan ibadah haji, diberi kebebasan mengenakan atribut agama di institusi pendidikan dll. Itu namanya aspirasi umat Islam.

Sedangkan perkara mendudukkan orang beragama Islam dalam jabatan pemerintahan, itu aspirasi politik.

Aspirasi umat itu sifatnya asasi dan abadi sedangkan aspirasi politik itu cuma permainan jumlah suara dan sifatnya sesaat. Aspirasi umat tak akan menimbulkan konflik, tapi aspirasi politik rawan menimbulkan bentrok. Ndak usah jauh-jauh ke jaman Ali bin Abi Thalib yang ditikam saat di masjid ya, jaman sekarang aja beda pilihan politik udah bikin buly-bullyan dan gontok-gontokan.

Sekularisme dalam pandangan saya adalah menyingkirkan politisasi agama secara praktis, namun TIDAK MENGABAIKAN aspirasi asasi keimanan. Itu pandangan saya.

Jadi dengan demikian, pelarangan politisasi masjid mustinya adalah soal melarang permainan kekuasaan merasuki masjid, menjadi wahana permusuhan. Tapi kalau membahas politik sih kudunya ya oke-oke aja. Jangan terlalu naif menganggap apa-apa yang berlabel agama itu pasti untuk memperjuangakan kepentingan umat. Lagian yang mau diperjuangkan itu kepentingan (politik) apa kebutuhan berkeimanan?

Masjid untuk politik, oke aja. Tapi politik dalam aspek mengelola aspirasi umat. Kalo masjid buat ajang kampanye partai, baiat-baiatan, sampe nglarang-nglarang coblos si anu atau si itu, provokasi nyetan-nyetanin lawan politik, maka itu bagi saya BIG NO.

Kalau yang anda anggap memperjuangkan agama itu adalah soal berkuasa secara politis, ya maka bersiaplah untuk terus gontok-gontokan. Sebagaimana sudah terjadi dalam sejarah Islam.
Jika menurut Anda bermanfaat, silakan berbagi tulisan ini ke teman Anda dengan tombol Google+, Twitter, atau Facebook di bawah ini.
Comments
0 Comments
0 Comments

Berikan Komentar

Post a Comment

Translate This Page into