Home » , , , , , , » Bagaimana Cara Menjadi Islam Simple dan Rahmatan lil Alamin?

Bagaimana Cara Menjadi Islam Simple dan Rahmatan lil Alamin?

Diceritakan oleh Gugun Arief pada Friday, April 6, 2018 | 2:00 PM

Anda pasti sering dengar jargon Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, atau Islam itu cuma satu. Di satu sisi itu (bisa) benar, di satu sisi lain anda mungkin akan bilang itu omong kosong.

Kenapa rahmatan lil alamin sama sekali tak tercermin pada banyak pelakunya? 

Ketika anda menggugat hal ini, anda biasanya dibanjiri dengan apologi bahwa "tak semua Islam begitu." Mirip sekali dalam pertandingan beladiri antar aliran jika kalah yang disalahkan adalah orangnya yang gak becus. Pada kenyataannya, cara orang memahami suatu sistem juga dipengaruhi seberapa mudah sistem itu memformulasi gagasannya.
Bagaimana Cara Menjadi Islam Simple dan Rahmatan lil Alamin?

Islam yang dibawa Nabi dan diajarkan pada para sahabat dan kemudian diteruskan oleh guru-guru agama tak lepas dari itu. Sudah sejak awal Islam menjad kotor oleh intrik-intrik politik. Agama dimanfaatkan oleh para petualang politik culas yang bertujuan jangka pendek. Tapi apa daya, kerusakan itu kemudian harus ditanggung oleh generasi berikutnya. Seandainya tak pernah ada pertikaian saudara seiman di dalam tubuh Islam, niscaya Islam akan menjadi samasekali berbeda pada hari ini.

Jadi untuk saat ini, rahmatan lil alamin maupun Islam itu tunggal hanyalah branding marketing faksi-faksi yang punya kepentingan tertentu. Anda sudah melihatnya di peta perpolitikan kita dan juga dampak sosialnya.

Jadi Islam itu sebenarnya bagaimana?

Islam itu SATU, secara esensial. Yakni agama yang dibawa Nabi Muhammad dan prinsip Tauhid adalah fundamennya. TAPI Islam itu MAJEMUK secara praktek. Islam dianut oleh jutaan manusia dengan akar budaya dan pengalaman sosial berbeda. Maka wajar sekali masing-masing orang akan menginterpretasinya secara beda. Sama seperti langgam orang baca Quran, sama seperti cara orang bikin kaligrafi. Meski mengumandangkan makna yang sama tapi berbeda dalam gayanya. Kadangkala di beberapa bahasan tertentu, beberapa aliran Islam bahkan bisa sangat berbeda.

Pada level ini maka ada orang yang pilih berjilbab, bercadar atau tidak sama sekali hanyalah perbedaan praktek menjalani. Saya yakin masing-masing punya argumentasi. Adapun yang menolak kemajemukan tafsir adalah para muslim literer yang mencoba mempertahankan cara beragama abad lampau dan hanya oleh satu kaum berbudaya tertentu (baca saja Arab).

Sekarang dengan banyaknya faksi, aliran, tafsir dan sebagainya bagaimana cara memilih Islam yang benar?

Saya tak ingin anda menjerumuskan pada kotak-kotak bahwa ini benar itu salah. Kita anggap saja secara merata bahwa baik Islam liberal maupun Islam fundamentalis pun masing-masing punya kelemahannya.

Saya justru berangkat bahwa Islam yang BENAR adalah yang sesuai dengan makna yang dibawanya.

ISLAM adalah SALAM, keselamatan, kedamaian. Kalau tidak selamat - kita bicara saja soal dunia, nggak usah akherat yang gak jelas - maka itu bukan Islam yang benar. Jadi kalau Islam anda tak membawa anda dan semesta damai atau selamat maka ya itu bukan Islam yang benar. Simple nggak?

Selamat dari apa? Selamat dari kerusakan yang anda bikin sendiri, selamat dari kerakusan manusia. Apa perlu kita definisikan rusak sekalian? Karena beberapa muslim beda standar mengenai kerusakan ini.

Bagi beberapa muslim, negara perang kayak Afghanistan dan Suriah itu bisa aja dianggap tidak serusak Amerika. Cewek berbikini di ruang publik, bagi beberapa muslim itu dianggap rusak. Tapi negara hancur karena perang, atau karena korupsi bisa aja masih dianggap damai selama masyarakatnya menutup aurat.... nah lho. Jadi pastika definisi rusak anda itu menurut siapa?

Dengan demikian segala tafsir terhadap kitab, kurikulum pelajaran agama adalah mengikuti prinsip keselamatan ini. Apa gunanya mengajarkan agama bagi anak kecil jika itu tak membuat dunia dan manusianya lebih damai? Tuhan macam manakah yang mau anda sembah? Yang haus pemujaan dan darah atau yang welas asih penuh keadilan dan memelihara dunia?

Saya pikir ini sudah paling simpel.

Makna lain dari islam adalah BERSERAH, PASRAH. Kepada siapa? Kepada Allah tentunya. Bukan pada ulama, bukan pada ormas, bahkan bukan pada Nabi sekalipun. PADA ALLAH! Lho kan hanya lewat Nabi Allah kita kenal?

Memang betul ajaran Tuhan dibawa oleh para pesuruh. Tetapi Tuhan lebih dekat tiap nano meter dengan darah anda daripada para Nabi historis yang hidup berabad-abad silam, yang punya perjalanan sosial dan budayanya sendiri. Sedang saat ini? Hanya anda dan Tuhan. Tuhan juga lebih dekat dengan tiap nano meter syaraf dan otak anda dibanding deretan huruf kitab suci yang dicetak pabrik, menggunakan bahasa yang mengalami kontruksi ribuan tahun. Anda bisa langsung berkomunikais dengan-NYA tanpa terikat dengan huruf dan kata. Jadi kepada siapa anda sebaiknya berserah? Pada Tuhan atau pada penggambaran orang tentang Tuhan?

Lantas berserah yang bagaimana? Bukankah Tuhan banyak sekali definisinya bahkan dalam Islam sendiri. Dia punya 99 nama dan Islam yang satu dengan yang lain pun beda cara menggambarkannya. Bagi golongan fundamentalis Tuhan itu ngamukan, keras, baperan, suka merusak (diwakili oleh penganutnya), sementara Tuhan yang digambarkan para sufi kok sebaliknya? Tentram, adil, welas asih....

Nah, kembali aja ke definisi pertama tadi. ISLAM SEBAGAI KESELAMATAN.

Jadi cara paling mudah untuk mendapatkan Islam yang RAHMATAN LIL ALAMIN, yang sejuk, menentramkan, bawa manfaat pada manusia (nggak cuma pada ormas thok) sekaligus SIMPLE! maka ya berangkatlah dari ISLAM ITU DAMAI. Maka semua tafsir anda terhadap teks dan ajaran ulama atau mufassir abad berapapun seharusnya mengikuti "golden frame" itu tadi.

Insyaallah kalo itu dilakukan, yang non muslim pun respect, yang berbikini tidak sungkan mendekati jilbab, kucing-kucing makin gembira riang, anjing-anjing liar mendapat ketentraman, cicak-cicak di dinding tidak khawatir akan dibantai meskipun yang salah adalah nenek moyangnya dan hoax religi gak akan laku di medsos.

Masuk akal napa mboten? Masuk hati apa tidak?

(renungan jemuah)
Jika menurut Anda bermanfaat, silakan berbagi tulisan ini ke teman Anda dengan tombol Google+, Twitter, atau Facebook di bawah ini.
Comments
0 Comments
0 Comments

Berikan Komentar

Post a Comment

Translate This Page into