Home » , , , , » Tubuh, Pikiran, dan Pakaian (Mengapa Mahasiswa Dilarang Bercadar?)

Tubuh, Pikiran, dan Pakaian (Mengapa Mahasiswa Dilarang Bercadar?)

Diceritakan oleh Gugun Arief pada Wednesday, March 7, 2018 | 2:34 PM

Tubuh dan pikiran ... trus pakaian

Ini bukan mo mbahas beladiri yak hihihi ... body and mind.

Tulisan ini adalah tanggapan saya untuk kejadian yang tertulis dalam tautan ini.

Preferensi Pribadi dan Dekorasi Tubuh

Konon, preferensi tiap orang akan terepresentasikan dalam cara mereka mendekorasi tubuh mereka. Seorang penggemar sepakbola, akan suka memakai kaos sepakbola. Penggemar beladiri mungkin suka kaos yang ada logo huruf Cina "wu" atau gambar Bruce Lee. Para pendukung gerakan kiri, mungkin suka pakai kaos bergambar Che...(kalo palu arit mah nyari perkara). 😁

Mengapa Mahasiswa Harus Dilarang Bercadar
Apakah bercadar itu mengganggu orang lain? Melanggar hak orang lain?
Tapi yang begini ini sebenarnya bukan sebuah korelasi logis. Pakaian hanyalah "etalase" yang suka-suka pemakainya aja mau majang apa yang ia anggap pantes. Memang bisa, jika si empunya tubuh memajang simbol ideologi preferensinya. Tapi ketika ada simbol yang dipajang di "etalase" tadi, bukan berarti itu berkorelasi pasti dengan apa yang ada di dalam. Pakaian gak bisa dijadikan patokan mengukur ideologi seseorang. Misal ada orang pakai baju partai apa jaminan dia mendukung partai itu, mencoblosnya saat pemilu? Jika ada cewek pakai jilbab anda yakin dia taat menjalankan syariat agamanya?

Pakaian ya pakaian, ideologi ya ideologi. Ada kalanya seseorang menyelaraskan antara tubuh dan pikirannya (sekali lagi ini bukan dalam konteks ilmu beladiri haha). Maksudnya ideologinya tercermin dalam cara ia berpakaian gitu loh... misal waibu radikal pake kimono kemana-mana... (ada gak ya?) :p

Back to topic, 

Bagaimana jika ada instansi yang melarang satu jenis pakaian tertentu?

Pertama perlu kita ingat, bahwa instansi di manapun, terutama yang resmi wajar memiliki dresscode. Kampus saya dulu melarang mahasiswa pakai kaos oblong dan sandal jepit. Di instansi pemerintah rata-rata juga ada dresscode begitu. Ndak mungkin anda masuk kantor Gubernur pake celana pendek dan sandal jepit.

Jadi dalam hal ini ... nggak peduli kamu pro PKI, HTI, Marvel, DC, Juventus, AC Milan, Persib, Persebaya, Arema, Google V, Via Vallen, Soneta Group atau apapun asalkan kamu pakai sesuai dresscode maka kamu boleh masuk ke instansi itu.

Ini soal dresscode, bukan ideologi. Ideologi nggak bisa ditawar. Gak mudah ngubah ideologi seseorang. Tapi kalo dresscode bisa berubah-ubah sesuai kondisi.

Tapi bagaimana dengan dresscode yang jadi satu bagian dengan ideologi?

Cadar adalah syariat (kalo anda meyakininya). By the way yang tidak meyakininya juga ada dan lebih banyak. Jadi ...

Bagaimana jika sebuah sikap menerapkan "syariat" berhadapan dengan kebijakan intansi yang menerapkan dresscode tertentu?

Tanggapan versi saya dan solusi.

Kalo kita sepakat bahwa penerapan dresscode melanggar HAM, maka musti diterapkan juga soal pemakaian kaos oblong dan sandal jepit. Kalo cadar boleh, mestinya sandal dan kaos juga boleh. Ini dari sudut pandang dresscode.

Sekarang dari sudut pandang iman atau ideologi. Berat mana berkompromi dengan instansi tempat belajar? Atau dengan keimanan yang dipegang? Karena ini urusannya masalah percaya atau nggak percaya. Repot kan, dapat ilmu tapi masuk neraka ngiahahahah.   😆😆😆

Untuk instansi yang mau ngeluarin mahasiswa bercadar sih saya dukung aja. Ngapain mahasiswa pake cadar?

Sedangkan untuk mahasiswi bercadar, perlu ditinjau dari awal. Apakah pas masuk itu dia sudah bercadar atau tidak? Kalo pakenya baru belakangan aja, apa keberatan kampus dengan menerimanya hingga lulus? Toh udah pernah keliatan wajahnya untuk keperluan administratif?

Kalo dari awal ia sudah bercadar, eh emang diterima ya kalo dari awal bercadar?

Mengaitkan cadar dengan mazhab atau ideologi tertentu perlu kehati-hatian. Apa bener HTI "mewajibkan" cadar? Takut kalo kampusnya dianggap jadi sarang radikalisme? Padahal kayaknya lebih banyak radikalis yang lahir dari kampus sekuler. Waibu wahabi aja ada... :p

Ideologi tak bisa dibatasi. Instansi dan bahkan negara hanya bisa melarang aktivitas. Sama kayak orientasi seksual. Negara hanya bisa melarang orang ngentot in public, tapi gak bisa melarang preferensi seksual.

Negara gak bisa melarang setiap orang mengimani atau tak mengimani apa, tapi bisa membatasi aktivitas yang berhubungan dengan sosial.

Nah apakah bercadar itu mengganggu orang lain? Melanggar hak orang lain?

Saya tebelin hurufnya biar jelas pertanyaan saya...

APAKAH PEMAKAIAN CADAR TERSEBUT MEREPRESENTASIKAN AKTIVITAS IDEOLOGIS?

Jika tidak, mustinya tidak perlu dilarang.

Kalau memang "tidak boleh bercadar" sudah merupakan aturan resmi, sedangkan teman-teman yang bercadar sangat memerlukan pengesahan di instansi itu, anda bisa menggugat lewat class action.

Aturan itu rata-rata dibikin berdasar mayoritas. Ini sebuah kewajaran. Jika ingin mendapat tempat dalam sebuah aturan, musti ada jumlah signifikan untuk mengajukan gugatan. Sama kayak kalo kita suka ribut jika ada yang bangun gereja di lingkungan mayoritas Islam kan?

Jika dikatakan UIN Suka mengusung Islam moderat dan menentang radikalisme, saya masih ada pertanyaan kritis. Apakah penentangan itu diarahkan pada aktivitas radikalisme atau termasuk melarang cara berpakaian yang merepresentasikan radikalisme tadi?

Nha masalahnya apakah cara berpakaian selalu merepresentasikan ideologi? Balik lagi ke awal tulisan saya. Siapa tau pake cadar cuman fetish? Siapa tau dalemannya malah pake G-string ... 😍
 Oh, maaf imajinasi saya kelewatan.... plak plak (*mukulin kepala sendiri neh)
(gara-gara kamu sih...)

Back to the topic...

Jika anda yang bercadar bisa membuktikan secara legal bahwa pakaian tersebut tidak merepresentasikan aktivitas ideologi, so why not to take a legal action?

Bahkan mustinya dalam hal ini rekan-rekan penjunjung toleransi, aktivis perempuan, HAM dan kebebasan berekspresi mendukung langkah ini. Inget kan di Prancis sempat ada pelarangan hijab namun kemudian kaum sekuler liberal pun mengecam rame-rame.

Itu tubuh-tubuhmu sendiri, hak-hak kamu sendiri untuk berekspresi.

Setuju nggak, Beb?
Jika menurut Anda bermanfaat, silakan berbagi tulisan ini ke teman Anda dengan tombol Google+, Twitter, atau Facebook di bawah ini.
Comments
0 Comments
0 Comments

Berikan Komentar

Post a Comment

Translate This Page into