Home » , , , » Pasar Papringan, Kebun Bambu Disulap Jadi Pasar yang Harmonis dengan Alam

Pasar Papringan, Kebun Bambu Disulap Jadi Pasar yang Harmonis dengan Alam

Diceritakan oleh Tricahyo Abadi pada Tuesday, January 12, 2016 | 12:44 PM

Hari ini saya menemukan Pasar Papringan di Facebook. Dan sekali mengunjungi page-nya, saya langsung jatuh cinta pada konsep kembali harmonis dengan alam demi revitalisasi desa yang diusung penggagas pasar unik ini. Keren! Saat melihat foto-fotonya, alam bawah sadar saya tergiring ke masa-masa waktu saya kecil, bermain bersama teman-teman di bawah bambu-bambu yang tumbuh lebat di belakang rumah. 

Masih jelas di ingatan saya, di bawah daun-daun bambu yang rindang persis seperti di Pasar Papringan itu, kami anak-anak lelaki maupun perempuan bermain bersama, main prau gethek yang kami bangun dengan pohon kelapa yang baru saja ditebang. Sisa batang kelapa yang masih utuh bulat (glugu) kami pakai sebagai roda slidernya, kemudian di atasnya kami taruh "usuk-usuk" yang dari glugu juga. Kemudian kami naik di atasnya. Lalu dengan sebatang galah bambu, seorang anak laki-laki yang bertubuh paling tambun mengemudikan "perahu" itu meluncur ke kanan dan ke kiri.

Kebun bambu siap disulap menjadi pasar.
Kebun bambu
Hmmm, sementara itu, anak-anak perempuan sibuk membuat kue yang berbahan adonan tanah dan air. Mereka cetak motif capnya dengan batang daun pisang yang diiris simetris. Kemudian mereka keringkan dengan terik matahari, setelah kering, kue pun jadi. (Proses pembuatan kue yang lebih lama melibatkan pembakaran juga, supaya terlihat merah maroon cantik). Uang yang kami pakai biasanya kami pakai daun bunga wora-wari bang yang jadi pagar pembatas antar pekarangan penduduk desa. Mungkin daun ini terpilih karena sifatnya yang lentur dan halus permukaannya, juga tahan layu seharian. Itu perkiraan saja, saya tak yakin apa yang ada dalam benak kami waktu menyepakatinya sebagai alat tukar. Lembar daun ukuran kecil bernominal kecil, yang paling besar (agak langka dan banyak diburu) bernominal besar. Mereka juga menjual ikan dari lapisan batang pisang yang diiris bentuk ikan, di samping juga perhisan kalung dari batang daun ketela pohon dan mahkota dari daun nangka. Tak pernah saya sangka, pasar masa kecil ini benar-benar diwujudkan oleh orang-orang kreatif di Temanggung!
Kebun bambu siap disulap jadi pasar.

Pasar Papringan Temanggung

Pasar ini dibangun di Banaran, Kelingan, Desa Caruban, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, dan baru dibuka pertama kalinya untuk umum baru pada hari Minggu, 10 Januari 2016 kemarin. Menyewa 1.600 m2 milik tiga orang warga, penggagasnya mewujudkan konsep Pasar Papringan yang berlokasi di tengah kebun bambu, mungkin pertama di dunia. Harapannya, jika sudah stabil ke depan pemilik lapak yang ada di sana akan meneruskan sewanya.

Trasah dan Trisik, Dua Kearifan Lokal yang dipadu dengan Kekuatan Alam Kebun Bambu

Selain memanfaatkan kekuatan alam kebun bambu, Pasar Papringan kembali menerapkan kearifan lokal yang sudah banyak ditinggalkan, trasah dan trisik. Dua kosakata yang hampir hilang dari memori saya ini diangkat kembali untuk membangun Pasar Papringan ini. Trasah adalah lantai yang tersusun dari batu-batu. Mengambil bidangnya yang paling rata sebagai permukaan lantai, kita susun batu-batu itu di dalam tanah (paved stone). Lantai trasah adalah kompromi kebutuhan manusia dengan alam. Manusia butuh jalan yang tidak becek, tetapi berharap alam tetap dapat menyerap air dengan baik. Trasah solusinya. Maka dibuatlah jalan-jalan dan selokan Pasar Papringan dengan desain trasah, satu kearifan lokal yang telah dilakukan oleh para penduduk desa, jauh sebelum beton berdaya serap air ditemukan.

Satu lagi adalah trisik, pagar sederhana yang terbuat dari bilahan-bilahan bambu kecil yang ditancapkan di tanah membantuk anyaman saling silang (anjang-anjang). Karya sederhana ini adalah salah satu kearifan lokal yang tercipta dari desa. Jika orang luar negeri sana punya "keep off the grass" atau "no trespassing" dengan pagar berduri yang tinggi, penduduk desa punya trisik yang hanya sebatas lutut hingga pinggang untuk menandai area tertentu. Jika penduduk desa melihatnya, mereka semua sudah paham bahwa area tersebut tidak boleh dilintasi.

Proses pembuatan trasah untuk area Pasar Papringan
Proses pembuatan trasah untuk area Pasar Papringan
Trasah dan trisik, dua kearifan lokal yang diterapkan di Pasar Papringan
Trasah dan trisik, dua kearifan lokal yang diterapkan di Pasar Papringan demi revitalisasi desa Caruban.
drainase Pasar Papringan
Diguyur hujan deras, drainase Pasar Papringan berfungsi dengan baik.

Pasar Papringan, Kebun Bambu Disulap Jadi Pasar
Pasar Papringan, Kembali Harmonis dengan Alam demi Revitalisasi Desa.

Mata Uang Khusus Pasar Papringan

Keunikan Pasar Papringan yang lain adalah memiliki alat tukar tersendiri. Mata uangnya adalah Pring, berbentuk koin yang didesain dari bambu dengan nominal tertentu. Nilai tukar Pring adalah 1 Pring sama dengan 1000 rupiah.

Mata uang pring alat tukar Pasar Papringan
Mata uang pring dipakai sebagai alat tukar di Pasar Papringan.

 

Siapa Penggagas Pasar Papringan Temanggung

Inisiatornya adalah Spedagi. Spedagi berasal dari kata ‘sepeda pagi’. Komunitas ini berawal dari kegiatan bersepeda bersama keluarga di jalan pedesaan yang dilakukan oleh Singgih S. Kartono, seorang alumnus Desain Produk ITB yang terkenal dengan produk Magno-nya. Tak disangkanya, kegiatan yang awalnya hanya untuk membakar kolesterol ini menuntunnya menemukan cara unik dalam memberdayakan desanya.
Singgih S. Kartono, desainer dan founder Spedagi

Kegiatan bersepedanya ternyata menarik masyarakat kota ataupun masyarakat dari luar negeri untuk datang ke desa, terutama ketika dia kemudian mengembangkan sepeda bambu Spedagi. Singgih melihat kegiatan tersebut berpotensi untuk dikembangkan menjadi kegiatan wisata sepeda. Spedagi kemudia dia konsep menjadi ikon komunitas wisata sepeda yang mandiri dan lestari untuk revitalisasi desa, mengajak masyarakat kembali ke desa dan membangunannya demi kehidupan bumi yang berkelanjutan.

Singgih tidak ingin para pendatang ini hanya ‘menikmati’ desa, namun mereka ikut juga menyumbangkan tenaga dan pikirannya sehingga desa mampu berkembang sesuai dengan potensi besar yang dimilikinya.

Dari tanggal 16 Maret sampai dengan tanggal 21 Maret 2014, Spedagi bekerja sama dengan International Conference of Design for Sustainability dari Jepang menyelenggarakan The 1st International Conference on Village Revitalization. Kegiatan yang berlokasi di kebun bambu yang kini  menjadi Pasar Papringan itu mengambil tema "Saatnya Kembali ke Desa", meliputi ekskursi, diskusi, workshop, presentasi, seminar dan bike tour dengan sepeda bambu dan menginap di homestay unik. Singgih yakin keunikan sepeda bambu, keindahan alam desa, dan kenangan akan desa sesungguhnya adalah “magnet besar" yang bisa menarik orang untuk datang kembali ke desa. Dari situlah akhirnya konsep Pasar Papringan ini terbit dan mendapat sambutan hangat dari masyarakat seperti terlihat di fan page Pasar Papringan.

Pasar Papringan ini buka setiap Minggu Wage (jatuh 35 hari sekali). Maka untuk jadwal selanjutnya Pasar akan buka kali keduanya jatuh pada tanggal 14 Februari 2016, dan ketiganya pada 20 Maret 2016. Selama tidak digunakan untuk kegiatan pasar, kebun bambu yang ruang-ruang di antaranya diolah supaya dapat menjadi area publik yang mendukung berbagai kegiatan masyarakat desa. Harapannya, masyarakat desa tidak lagi menganggap papringan sebagai tempat yang gelap, lembab, dan kotor, tapi tempat yang bersih dan nyaman digunakan untuk berbagai aktivitas desa sehari-hari.

Anda dapat menghubungi Pasar Papringan di nomor kontak: 0852-2819-8669

Sumber foto: Aris Daryanto, fan page Pasar Papringan
 
Jika menurut Anda bermanfaat, silakan berbagi tulisan ini ke teman Anda dengan tombol Google+, Twitter, atau Facebook di bawah ini.
Comments
0 Comments
0 Comments

Berikan Komentar

Post a Comment

Translate This Page into