Home » , » Revolusi Mental: Pejabat di Indonesia Reinkarnasi Feodalisme Kompeni?

Revolusi Mental: Pejabat di Indonesia Reinkarnasi Feodalisme Kompeni?

Diceritakan oleh Arif Rahmawan pada Wednesday, February 4, 2015 | 12:34 PM

Dalam Manusia Indonesia, Muchtar Lubis (1922– 2004) mengatakan ada enam ciri manusia Indonesia, salah satunya adalah sikap dan perilaku yang feodal. Selain itu, Muchtar Lubis juga mempertanyakan pepatah sepi ing pamrih, rame ing gawe, amemayu ayuning bawana (tanpa pamrih, kerja keras, memajukan dunia).

Muchtar Lubis menyampaikan pidato tersebut pada tanggal 6 April 1977. Beberapa hari setelah itu, beragam tanggapan pun muncul. Tokoh-tokoh seperti Sarlito Wirawan (71), Margono Djojohadikusumo (1894 – 1978) pun turut menyatakan tanggapannya. Mereka berdua-dengan argumentasinya masing-masing-tidak sepenuhnya setuju dengan isi pidato Muchtar Lubis tersebut. Sarlito Wirawan menganggap pidato Muchtar Lubis tidak berdasar penelitian ilmiah dan sangat subyektif.
Berburu Celeng, lukisan karya Djoko Pekik
Berburu Celeng, lukisan karya Djoko Pekik (foto: Layung Respati)
Poin yang dikritik oleh pakar Psikolog UI tersebut adalah ketika Muchtar Lubis mengatakan bahwa sikap feodal sejak zaman kerajaan lalu zaman kompeni hingga zaman modern ini ternyata masih tumbuh subur di Indonesia. Sebutan Tuanku, Meneer atau Gubernur Jenderal memang sudah tidak ada. Tetapi feodalisme bergeser menjadi penghormatan kebablasan terhadap pejabat. Dalam bahasa saya, pejabat di Indonesia merupakan reinkarnasi feodalisme ala kompeni. Meneer-meneer Belanda sudah menitis pada Bapak Bupati, Bapak Gubernur dan “bapak-bapak” yang lain.

Pendapat ini disanggah oleh Sarlito Wirawan. Menurutnya, tidak sepenuhnya perilaku feodalisme masih melekat pada manusia Indonesia. Dia mencontohkan keberanian seorang ibu pemilik warung makan yang memarahi mahasiswa yang mencoret-coret meja makannya. Oleh Sarlito, pedagang tersebut dianggap bukan penganut feodalisme, karena telah berani memarahi mahasiswa yang status sosialnya dianggap lebih tinggi.

Sementara itu, Pak Margono menganggap bahwa pidato Muchtar Lubis terkesan sangat anti suku Jawa. Kakek dari Letjen (Purn) Prabowo Subianto ini juga menolak anggapan bahwa sepi ing pamrih rame ing gawe hanya pepatah kosong belaka. Dia bercerita, pada saat keluarga besarnya sedang merayakan Idul Fitri, ada salah satu cucunya yang tidak ikut berkumpul. Kemudian, dia menerima surat dari cucunya yang saat itu sedang bertugas di Timor Timur. Dalam surat dari cucunya, dituliskan bahwa saat itu prajurit-prajurit Indonesia di Timor Timur sedang berjuang di medan peperangan, berjuang tanpa pamrih, hanya ingat pada sumpahnya sebagai prajurut dan ksatria. Menurut Pak Margono, cucunya tersebut merupakan bukti bahwa sepi ing pamrih rame ing gawe bukan pepatah kosong belaka. Cucu Pak Margono adalah buktinya.

Tanggapan dari Sarlito Wirawan dan Pak Margono Djojohadikusumo ini mendapat tanggapan lagi dari Muchtar Lubis. Bagaimanakah tanggapannya, Anda bisa membaca sendiri buku Manusia Indonesia.

Sekarang, setelah 38 tahun Muchtar Lubis memvonis manusia Indonesia dengan enam ciri-cirinya, menjadi pertanyaan kita bersama apakah sikap dan perilaku feodal dan sifat-sifat lainnya masih melekat pada diri manusia Indonesia saat ini?

Dua Penjawab 

Dalam tulisan ini, pertanyaan tersebut akan dijawab oleh dua penjawab. Yang pertama oleh Bimbim, Kaka dan kawan-kawan yang tergabung dalam Slank. Slank merupakan grup band yang memiliki kepekaan sosial dan memiliki fans fanatik yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia yang bernama Slankers. Saking fanatiknya, Slank pernah mendapat surat dari seorang slanker yang ditulis dengan darah yang mengatakan bahwa Bimbim dan Kaka akan dibunuh seandainya Slank sampai bubar.

Slank menjawab pertanyaan tersebut melalui lagu berjudul Feodalisme (warisan Kompeni). Feodalisme terdapat pada album berjudul Generasi Biru tahun 1994. Di bawah ini merupakan potongan dari lirik lagu tersebut.

Salah nggak salah, sama atasan slalu diturutin 
Maunya seumur hidup minta-minta dihormatin
 Nang ......... ning ......... nang ...... ning-nang-ning ...... gung
 Feodalisme ...... WARISAN KOMPENI !!
 Bagus nggak bagus orang yang kuat s'lalu Berkuasa!
Absolute ...... segala-galanya dia-dia yang paling perintah

Saya percaya lagu Feodalisme cukup mewakili kondisi sosial pada tahun 1990-an. Artinya, Slank bermaksud sama dengan Muchtar Lubis, yakni mengkritik perilaku feodalisme pada zamannya masing-masing.

Berikutnya, jawaban yang akan diurai oleh penjawab kedua. Jawaban ini adalah jawaban yang cukup aktual dan berbobot untuk menilai pidato Muchtar Lubis tersebut. Aktual karena disampaikan dalam situasi terkini dan berbobot karena disampaikan oleh pemimpin nomor satu Republik Indonesia. Penjawabnya tak lain adalah Presiden Joko Widodo. Presiden kita tersebut mengatakan bahwa bukan hanya sifat feodal yang masih melekat pada manusia Indonesia. Bahkan lima ciri manusia Indonesia yang lain yang dikatakan Muchtar Lubis masih melekat pada manusia Indonesia zaman sekarang.

Presiden kerap mengutip enam ciri manusia Indonesia versi Muchtar Lubis yaitu: Munafik atau hipokrit, enggan dan segan bertanggung jawab atas perbuatannya, bersikap dan berperilaku feodal, percaya takhayul, artistik berbakat seni, lemah watak atau karakternya. Hal tersebut dikatakan dalam sambutannya dalam Simposium Nasional II, "Jalan Perubahan untuk Indonesia Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian 2014-2019" di Yogyakarta, Senin malam, 18 Agustus 2014.

Setelah itu, pada Muktamar PKB di Surabaya tanggal 31 Agustus 2014, Presiden juga mengutip lagi enam ciri manusia Indonesia tersebut. Presiden juga mengatakan bahwa masih banyak pejabat yang percaya takhayul.

Ini berarti, Presiden memang jelas mengamini apa yang dikatakan oleh Muchtar Lubis. Dalam perkiraan saya, mungkin pidato Muchtar Lubis itulah yang menjadi salah satu dasar bagi Presiden Joko Widodo untuk mencanangkan program Revolusi Mental.

Sumber artikel :
Jika menurut Anda bermanfaat, silakan berbagi tulisan ini ke teman Anda dengan tombol Google+, Twitter, atau Facebook di bawah ini.
1 Komentar
1 Komentar
Komentar

1 Komentar:

  1. Untuk karakter khas suku jawa dapat lebih lengkap dapat anda baca dibuku :"Serpihan Budaya Feodal" tulisan Suhartono W Pranoto. penerbit AGASTYA MEDIA , Yogyakarta.

    ReplyDelete

Translate This Page into