Home » » Yang Benar 'Percados' atau 'Pitados'?

Yang Benar 'Percados' atau 'Pitados'?

Diceritakan oleh Tricahyo Abadi pada Monday, March 17, 2014 | 8:07 PM

Berawal dari posting saya di Facebook yang saya ambil screenshot-nya di bawah, saya menjadi sangat tertarik untuk menelusuri kedua kata ini: 'pêrcados' vs 'pitados'.

Kata 'pêrcados' saya gunakan sebagai krama dari 'pêrcaya'. Di desa saya, masuk wilayah kabupaten Blitar, saya sering mendengar kata ini. Begitu pula jika kita melakukan search di grup-grup bahasa Jawa di Facebook seperti Kawruh Jawa dan Wong Jawa Njawani, kita akan temukan banyak teman-teman lain yang mempergunakan kata ini. Namun, saya menemukan juga bahwa bagi orang lain daerah khususnya wilayah Yogyakarta dan sekitarnya, kata 'percados' sangat 'wagu', dipaksakan, krama (n)desa, krama kuadrat, dan sebutan negatif lainnya. Bahkan ada yang menyamakan kata krama 'percados' sebagai kata krama abal-abal yang dibuat-buat, entah itu hanya kelakar atau serius. Benarkah demikian? Saya berusaha menjawabnya sebatas menelusurinya di Google.

percados-vs-pitados
"Percados" sebagai krama "percaya" dipermasalahkan

'Pêrcados' vs 'Pitados'

Kamus yang menyebut kata 'pêrcados' di laman sastra.org adalah Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939: pêrcados: êngg. k. pracaya 

Keterangan êngg. pada entri kamus tersebut merupakan singkatan dari "ênggon-ênggonan" yang digunakan untuk menjelaskan bahwa istilah entri di situ tidak umum, atau tidak termasuk dalam golongan bahasa Jawa yang dipakai sebagai pedoman (bahasa Surakarta), jadi penggunaannya hanya pada salah satu tempat saja (Poerwadarminta, Bausastra Jawa,  1939).

Dengan keterangan tersebut terjawab sudah mana yang baku dan mana yang tidak: kata 'pêrcados' adalah dialek daerah Blitar, Tulungagung, dan sekitarnya(?), sedangkan kata yang sekarang dibakukan adalah: 'pitados'.

Walaupun demikian, banyak di antara kita yang memperdebatkan kedua kata di atas tanpa mengetahui asal usul keduanya. Akibatnya, timbul debat kusir yang berujung fanatisme kedaerahan buta sampai dengan melontarkan sarkasme.
Dua kata ini nampaknya berasal dari dua bentukan kata berbeda, yaitu:
pêrcados (krama) → pêrcaya (ngoko)
pitados (krama) → pitaya (ngoko)

Morfologi

Penjelasan mengenai pembentukan kata 'pitaya' dan 'pêrcaya' saya peroleh dalam buku Sanskrit in Indonesia karangan Jan Gonda, 1952 yang dicetak ulang pada 1973 dan 1997.

Dalam buku tersebut, orientalis Gonda menerangkan bahwa kata 'pratyaya', yang dalam bahasa Sansekerta berarti 'kepercayaan, pendirian teguh, keyakinan, dasar, motif, penyebab sesuatu' (di luar arti konotatifnya seperti 'pratyaya' pada prasasti Wurandungan atau prasasti Baru yang memiliki arti konotatif yaitu berhubungan pengumpulan pajak), muncul dalam Jawa Kuno dalam dua bentuk, yaitu menjadi:
  1. 'Pratyaya', artinya 'sebab'. Bentukan kata yang memakai -ty- ini, di samping teks kuno yang telah diterjemahkan dari bahasa Sansekerta, disajikan pada tulisan-tulisan prasasti maupun kitab.

  2. 'Pracaya/parcaya', artinya 'kebenaran, kepercayaan, keyakinan' yang terus dipergunakan dalam pengertian 'kepercayaan religius'. Bentuk yang lebih dinaturalisasi (memakai -c-) ini telah menjadi lebih lazim penggunaannya dan telah mengalami perubahan bentukan lainnya, yaitu: 'parcaya' (dalam bahasa sehari-hari juga 'pərčaya') dan Jawa Modern 'pitaya'.
Kata 'parcaya' ini dapat kita lihat pada kakawin Sumanantaka yang memakai bahasa Jawa Kuno.

'Percaya' juga muncul dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia, sementara 'pecaya', 'picaya' dalam bahasa Melayu.
Metatesis. pergantian tempat bunyi (huruf) dalam sebuah kata, memang sering terjadi pada huruf -r-. Misalnya adalah
Bahasa Sansekerta dan kata lain yang berawalan dengan pra- sekarang ini dan mungkin juga sejak lama juga diucapkan sebagai per-. Misalnya:
  • Percakapan Jawa Modern percaya disamping pracaya
  • Pêrtela disamping kata lawas pratela

Bentukan Ngoko - Krama

supaya menjadi supados
pracaya menjadi pracados
pêrcaya menjadi pêrcados
pitaya menjadi pitados

Bagaimanapun juga, bahasa senantiasa berkembang seiring zaman. Sebagaimana halnya sejarah, bahasa adalah milik pemenang. Suatu saat, satu kata menjadi tidak lagi lazim, bahkan menghilang.

Dalam bahasa formal yang kita pakai adalah kata 'pitaya' dan 'pitados'. Namun seperti telah dijelaskan di atas, kita harus memahami pula bahwa 'pêrcaya' bukanlah kata asing dari antah berantah yang tidak pernah kita kenal. Sebaliknya, 'pêrcaya' adalah cikal bakal atau moyang dari 'pitaya'. Bahkan, nuansa arti religius kata 'pêrcaya' ini sebenarnya dapat dipergunakan sebagai alternatif kata 'pitaya' (lihat bagaimana kata Sansekerta 'pratyaya' diterjemahkan dalam kosakata bahasa Inggris yang beragam dalam buku Jan Gonda di atas). Oleh karena itu, biarlah kata 'pêrcaya' dilestarikan oleh masyarakat khususnya yang masih mempergunakannya. Inilah dialek, variasi bahasa yang berbeda-beda menurut pemakainya. Hal ini sesuai dengan pepatah Jawa: "desa mawa cara, negara mawa tata", atau pepatah "lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya". Saya kira dialek perlu dihormati karena dengan sendirinya akan memperkaya khazanah bahasa kita sendiri. Cukuplah kita memberi keterangan bahwa si 'pêrcaya' bukan lagi anak kesayangan, yang kini kita pilih adalah si 'pitaya'. Seperti itulah yang dilakukan para ahli dan peneliti cendikia seperti ahli bahasa, kesusastraan, dan kebudayaan bangsa-bangsa Timur Jan Gonda.

Kadang sebagai manusia kita lupa atau bahkan tidak kenal asal-usul. Oleh karena itu, dalam budaya Jawa ada istilah 'ngleluri', 'lestari', atau 'nguri-uri', yang artinya memelihara dan melestarikan. Kecuali, kita memang ingin membuang anak peradaban kita dengan konsekuensi menghadapi masuknya pengaruh kosakata asing yang terus mendesak bahasa Jawa kita tercinta. Konsekuensi lain dari kebiasaan membuang kosakata adalah kita akan kebingungan kemudian mengais istilah-istilah yang hilang dari bahasa sendiri saat membutuhkannya, yang jika sudah berujung frustasi kemudian mudah mencomot kata-kata asing seperti saya di sini. Kita sendiri sebagai pengguna bahasalah yang akan menentukan takluk tidaknya pelestarian ini.

Seperti apa yang dikatakan novelis Chimamanda Adichie, suatu hal menjadi stereotip bukan karena tidak benar, tetapi hanya karena informasi yang diterima tidak lengkap. Sudah saatnya kita memandang lebih arif dan menyeluruh tanpa rasa fanatisme kedaerahan yang mematikan liyan, apalagi jika itu ternyata adalah leluhur kita sendiri. Jangan sampai menjadi: Wong Jawa ilang Jawane seperti saya, hehehe. Sekian +Tukar Cerita ngelantur tentang bahasa kali ini. Jika ada salah, yang alim mohon meluruskan demi persaudaraan kita bersama. Rahayu.
Jika menurut Anda bermanfaat, silakan berbagi tulisan ini ke teman Anda dengan tombol Google+, Twitter, atau Facebook di bawah ini.
Comments
0 Comments
0 Comments

Berikan Komentar

Post a Comment

Translate This Page into