Home » , » Mesir 2013: Ketika Ranah Ideologis Kawin dengan Politik

Mesir 2013: Ketika Ranah Ideologis Kawin dengan Politik

Diceritakan oleh Gugun Arief pada Monday, August 19, 2013 | 11:48 PM

Teringat cerita almarhum bapak dulu. Bapak saya adalah saksi peristiwa tahun 1965 di Blitar dimana sebagian orang Indonesia membunuhi saudaranya sendiri. Bapak waktu itu anggota Masyumi. Di desa kami hanya 3 orang simpatisan Masyumi, selebihnya pro-PKI. Kurang lebih begini kata bapak, "Saat itu (1965), pihak komunis sering melakukan teror pada orang-orang yang tak sehaluan (misalnya Masyumi kayak bapak saya). Tapi pembantaian antek-antek komunis pasca peristiwa 30 september itu juga tidak bisa dibenarkan. Bagaimanapun yang sering terjadi adalah pembunuhan salah sasaran."

Masjumi, Semen, Blitar
Bapak waktu masih muda (tengah) (Lokasi: Semen, Blitar, 7 Agustus 1955)
Sikap bapak saat itu adalah tidak ikut-ikutan kegiatan membantai (meskipun kayaknya jadi kewajaran bagi beberapa kelompok pemuda agamis). Bahkan bapak melindungi bapak kosnya yang simpatisan PKI. Rumah kelahiran saya dulu terpasang gambar tokoh komunis Cina.

Menilik peristiwa Mesir akhir-akhir ini saya jadi teringat beberapa tragedi sejarah bangsa sendiri yang mungkin banyak dilupakan generasi ABG kita yang alay tapi imut. Semoga kita tak pernah mengulangi keganasan yang sama, satu bangsa membunuhi saudaranya.
Pendukung Mursi
Pendukung Mursi menentang kekerasan yang terjadi (REUTERS/Murad Sezer)
Saya berduka atas jatuhnya korban di Mesir, terutama rakyat jelata yang tak ingin ikut-ikutan terjebak dalam perseteruan ideologi politik.

Yeah, cara pandang saya masih naif soal kemanusiaan ini. Kenapa sih kita tak bisa duduk bersama menjadi saudara? Apakah damai itu membosankan? Tapi namanya konflik politik, mungkin mau nggak mau akan memakan korban.

Saya pribadi bukan termasuk pendukung Islamisasi negara dalam ranah politis. Saya bukan simpatisan Ikhwanul Muslimin (kalau ustadz saya dulu iya.) Yang jelas saya mengecam semua pembantaian yang dilakukan karena perbedaan cara berpikir. Sekalipun mereka atheis, muslim, liberal semua adalah umat manusia yang punya hak hidup. Namun ketika ranah ideologis berkawin dengan politik, dahsyat dampak sosialnya. Teroris? Hmm, itu label yang ampuh buat membinasakan pihak. Jaman dulu pejuang kita juga dibilang ekstrimis dan teroris. Saya benci teror sebagai perilaku, bukan sosok.

Indonesia, belajarlah dari sejarah! Mungkin sebagian dari teman-teman menafsirkan bahwa Tuhan mengajarkan bahwa agama tak bisa lepas dari politik. Tapi Tuhan yang sama membuktikan dalam sejarah bahwa politik yang kawin dengan agama juga menimbulkan bencana. Mungkin niat awalnya bagus agar agama bisa mengarahkan perilaku politik. But a big power tends to corrupt....

Dr. Alan Grant pernah bilang ke saya sewaktu saya ikut membantu evakuasi sebuah keluarga di Isla Sorna (kata-kata yang sama ia ucapkan pada Billy Brennan), "Some of the worst things imaginable have been done with the best intentions."

Profesor Charles Xavier juga pernah mengingatkan kami di kelas School For The Gifted Youngster, "It is an historical fact; share the world has never been human's defining attribute."
Jika menurut Anda bermanfaat, silakan berbagi tulisan ini ke teman Anda dengan tombol Google+, Twitter, atau Facebook di bawah ini.
Comments
0 Comments
0 Comments

Berikan Komentar

Post a Comment

Translate This Page into