Home » , » Pelajaran dari Lagu Anak-Anak: Gendam Kacung Kampret

Pelajaran dari Lagu Anak-Anak: Gendam Kacung Kampret

Diceritakan oleh Tricahyo Abadi pada Monday, April 1, 2013 | 10:37 AM

Kacung Kampret memakai topi
Tiap hari pergi ke kali
Naik gunung turun gunung
Jalan licin Kampret ngglundhung
Kacung Kampret, aduh aduh biyung

Kampret alias combre (Wikipedia)
Lirik yang mudah. Ini lagu masa kecil saya dulu, sering dinyanyikan oleh Ibu dan kadang dibumbui dengan ilustrasi cerita khususnya apabila saya bertanya tentang isinya. Pada waktu kecil saya kira Kacung Kampret itu nama orang. Ternyata sekarang saya baru tahu nama orang Kampret si kacung. Kacung adalah bawahan, suruhan, atau begundal. Begitu juga kampret. Kampret adalah sebangsa kelelawar kecil yang menjadi istilah untuk kaki tangan, antek-antek, kaki tangan, atau begundal. Dahulu di pasar desa sebelah tempat kelahiran saya ada seorang penjual obat. Herannya tiap hari pasaran (di pasar itu Kliwon) pasti beberapa orang mengerumuninya dan menawar barang dagangannya, padahal penduduk tahu orang-orang itu bukan dari daerah saya. Ternyata para pengerumun itu adalah kampret atau kacung dari si penjual obat yang bermuslihat supaya dagangannya laris. Penduduk desa saya menyebutnya kampret atau combre (kelelawar juga). Sampai sekarang, rupanya masih banyak kampret-kampret berkeliaran di sekitar.

Pernah suatu kali pada masa kuliah saya pergi ke alun-alun kota Malang dan jadi korban "gendam" tukang obat sulap bersama kacung-kacungnya. Waktu itu saya ingat hari Jumat, saya bisa pulang kampung karena sabtu minggu libur. Saya mampir dulu di Masjid Raya Malang untuk shalat Jumat. Kemudian jalan-jalan di alun-alun sebentar untuk melihat keramaian kota (dasar orang desa). Saya malah ketemu sama gerombolan tukang obat dan kacungnya dan tanpa sadar terjebak dalam modusnya. Setelah bergiliran beberapa orang diramal, giliran saya dielus-elus telapak tangan saya, katanya saya cocok jadi tukang kayu. Geli juga diramal begitu. Mungkin karena waktu itu saya bawa tas gede hingga saya dikira kuli pulang kampung? (Kurang ajar! Herannya saya nurut juga haha!) Lalu saya disuruh membeli obat untuk segala sakit yang ampuh bin mujarab. Waktu itu tahun 2000-an harganya 5000 rupiah. Belum cukup, saya disuruhnya ke belakang pohon beringin. Rupanya di sana ada satu kacung yang sudah stand-by, kemudian dia terus mempengaruhi pikiran dan setengah memaksa untuk membeli jimat lain. Dia bilang, "saya lihat masih ada uang yang Anda punya, tolong dikeluarkan saja untuk menebus ini." Busyet. Ini sudah pemerasan, pikir saya. Untunglah saya sadar hingga saya jawab, "Jangan Mas. Uang saya tinggal 20.000 untuk pulang naik bus." Untunglah si kacung yang badannya penuh tatto itu tidak memaksa sungguhan. Mungkin juga dia kasihan melihat saya. Saya waktu itu memang sungguh hanya punya uang segitu untuk ongkos pulang pas sampai di depan rumah di Blitar Selatan sana. Memang saya akan pulang jika uang sudah habis. Dasar anak kos, Haha. Saya dibiarkan pergi terbengong. Lalu saya duduk di bawah pohon beringin lain tak jauh dari mereka, sekilas saya mengamati tingkah polah mereka kemudian merenung sebentar. Ternyata saya tertipu. Orang-orang yang diramal bergilir tadi adalah kacung alias kampret-kampret si tukang obat. Kampret bener! Tak salah umpatan ini diucapkan! Sangat kontekstual, hahaha! (Menertawakan peristiwa yang dialami sendiri lebih baik daripada menertawakan nasib orang lain.)

Ternyata salah satu trik "gendam" itu adalah memakai banyak kacung. Padahal waktu kecil sudah pernah melihat kampret, eh kok waktu kuliah malah jadi korban kacung. Oleh seorang yang lewat di alun-alun kota Malang itu, dan nampaknya sudah terbiasa melihat aksi si penjual itu, saya ingat saya disindir: "Sampeyan itu anak kuliah kok tertipu sama tukang jual obat." :D

Itulah kisah Kacung Kampret. Sayangnya saya dulu waktu kecil tidak bertanya siapa itu Kacung Kampret. Kalau saja saya bisa belajar dari lagu itu, mungkin saya tidak akan terjerumus ke jebakannya. Ibu saya juga tidak cerita. Mungkin karena keterbatasannya juga memahami lagu itu atau justru beliau memahami keterbatasan saya yang masih kecil. Yang jelas setelah saya cari di Google, lagu itu ternyata punya beberapa bait yang melibatkan kata-kata bahasa Belanda. Demikian bunyinya dan artinya:

KACUNG KAMPRET

Kacung kampret hij teken kumpeni (dia bawahan kompeni)
Saben hari jalan eksersisi (exercise/latihan)
Naik gunung turun gunung
De weg is glad hij kegelendung (Jalannya licin dia terpeleset jatuh terguling-guling)
Kacung kampret aduh aduh biyung (biyung = mama)

Kacung kampret hij sudah kawin
Hij is getrouwd met een orang miskin (Dia kawin dengan orang miskin)
Maar elke dag hij trapt herrie (Tapi tiap hari dia ribut-ribut)
En toen zijn vrouw jadi lari (Dan akhirnya istrinya pun melarikan diri)
Kacung kampret koe kapok saiki (sukurin lu sekarang)

Kacung kampret hij sakit gigi (hij = he = dia)
Hij ligt op amben dicokoti tinggi (dia terbaring di ranjang dan digigiti kutu busuk)
Hij roept zijn pa, hij roept zijn ma (Dia memanggil-manggil papa dan mama-nya)
Hij roept zijn hele familie (Dan memanggil seluruh keluarganya)
Kacung kampret koe mati saiki (mati kamu sekarang)

Kira-kira dalam lagu itu terkandung kebencian terhadap kacung Belanda. Mungkin yang dimaksud di sini adalah yang dulu dikenal dengan nama KNIL yang setiap hari melakukan latihan naik turun gunung. Pada bait lagu di desa saya, eksersisi dimodifikasi dengan "ke kali" karena kebetulan desa saya berada di tepi sungai jadi mungkin lebih kontekstual.

Kesan mendalam tentang kekejaman KNIL masih saya temui hingga detik ini, tepatnya kemarin sewaktu saya antar Dea Jalan-jalan di Sawah. Sesampai di kampung sebelah, di desa Junrejo, saya bertemu dengan seseorang Bapak-bapak kelahiran 1942. Berarti usianya sekarang 71 tahun. Saya lupa menanyakan namanya. Beliau sedang membakar sofa sederhana (isinya gombal, pakaian bekas). Saya sapa beliau, "Disusuhi tikus ya Pak?" (Dipakai sarang tikus ya Pak?"). "Mboten, mpun ngeten niki angsale. Pinter sing ndamel dadi empuk." (Tidak, memang sudah begini dapatnya. Yang buat pinter dikasih pakaian bekas di dalamnya. Jadinya empuk.") Bermula dari pertanyaan itu, akhirnya pagi itu beliau bercerita panjang untuk Dea dan saya yang telaten mendengarkannya.

Beliau adalah saksi hidup masa Agresi Militer Belanda II. Tentara Belanda beliau gambarkan sebagai sosok yang kuat yang satu orang dapat mengangkat ranjang kayu jati yang berat dengan satu kakinya untuk menyingkap orang yang bersembunyi di kolongnya. Beberapa orang tewas di desa Junrejo baik akibat dihujani peluru maupun penggerebekan karena waktu itu merupakan wilayah gerilya termasuk orang-orang di dekatnya. Namun yang lebih kejam adalah KNIL yang berasal dari Ambon. Salah satu penduduk desa diinjak dadanya hingga mengguk (menderita sesak nafas). Namun ada juga teman KNIL itu yang merasa kasihan mencegah kekejaman teman-temannya.

Di bawah pohon kelapa ini markas gerilyawan dulu berada
Jika dihubungkan dengan lagu di atas, saya sempat berpikir mengapa kebencian pada antek-antek Belanda dinyanyikan dengan bahasa Belanda? Mungkin saja lagu ini diciptakan oleh kalangan pemuda Indonesia yang mendapat didikan Belanda. Seperti yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer (alm.) yang bisa bahasa Belanda biasanya adalah pemuda kita yang masuk sekolah Belanda. Atau bisa juga orang Belanda yang tidak setuju dengan adanya penjajahan di Indonesia seperti.Douwes Dekker, atau Sneevliet. Saya tidak tahu.

Singkatnya, Kacung Kampret alias K² adalah begundal kuadrat, sudah kacung kampret pula. Banyak orang yang dirugikan gara-gara sifat mengacung dan mengampret yang penuh tipu muslihat hingga kekejaman. Banyak orang yang akan membencinya karena hal itu. Kebencian itu dapat tertanam dalam diri kita yang tersakiti. Kita sebagai manusia, hidup tidak perlu berkomplot mengacung pada yang satu dan merugikan yang lain. Namun kita pun tidak perlu membenci seseorang terlalu dalam, karena segala sesuatu itu tidak ada yang perlu didhemeni (dikomploti) atau disengiti (dibenci) mati-matian. Hidup yang tepat adalah berguna dan membahagiakan sesama. Demikian pelajaran dari Buku Kehidupan hari ini.

Catatan: Yang ingin jalan-jalan ke Alun-alun kota Malang, jangan sampai terlena. Cukup saya yang terperdaya. Salam. 
Jika menurut Anda bermanfaat, silakan berbagi tulisan ini ke teman Anda dengan tombol Google+, Twitter, atau Facebook di bawah ini.
Comments
0 Comments
0 Comments

Berikan Komentar

Post a Comment

Translate This Page into