Home » , , » Meneliti dan Memahami Diri Menghilangkan Keputus-asaan (Terjemahan Buku Langgar Surat #2: Wiridan)

Meneliti dan Memahami Diri Menghilangkan Keputus-asaan (Terjemahan Buku Langgar Surat #2: Wiridan)

Diceritakan oleh Tricahyo Abadi pada Tuesday, March 19, 2013 | 7:52 AM

Untuk sementara, saya coba menerjemahkannya dulu dengan metode googling dan othak-athik-gathuk, juga dengan bantuan terjemahan Ki Muhaji Fikriono di dalam bukunya, Puncak Makrifat Jawa. Sebelum melanjutkan membaca, seperti biasa saya harap pembaca sekalian membaca terlebih dahulu tujuan lain saya di sini. Dan sesuai dengan prolog Ki Ageng Suryamentaram di buku Makloemat Kepada Bahagia Jang Baka (Inwijding Tot Het Eeuwigdurende Geluk), berikut ini saya kembali memper-ingat-kan pada pembaca:
Arkian maka sekalian pembatja diperingatkan djanganlah terlaloe dalam dan soenggoeh-soenggoeh menerima maksoed ma’loemat ini hendaknja, sebab peri hal hidoep sebetoelnya tiada berarti barang bagaimana, oleh karena hidoep sebenarnja moedah sekali, moedah semoedah-moedahnya, sehingga rang tiada mengira bahwa ia telah hidoep. Sekalipoen demikian sekalian pembatja merdekalah dan ta’ada halangan berpendapatan tiada sebagai jang terseboet. 

Terjemahan

SURAT KEPADA sdr. SUKARSA
Guru Taman Siswa, Ngayogyakarta

WIRIDAN

Perjumpaan kita terakhir kali di langgar telah membuat Anda susah dan bingung karena pada saat itu diskusi kita lanjutkan dengan teori yang tanpa guna
Saya harap semoga surat ini bisa menghilangkan keputus-asaan Anda.

PUTUS ASA,
itu hanyalah karena kelelahan dari pikiran, sifatnya sementara, tidak terus-terusan.
Seperti halnya orang kecapekan tidak dapat lagi melanjutkan pekerjaan.
Namun lelah-nya otot itu hanya satu dua hari. Sementara lelah-nya pikir sering berbulan-bulan.
Lelah-nya otot dipijat sembuh, sedangkan lelah-nya pikiran dipijat dengan pemahaman benar.

Sesudah itu akan saya menjabarkan jalan untuk mendapatkan pemahaman yang benar, sebut saja TEOSOFI agar bisa dijadikan sebagai pembanding.

Jika sudah memahami hal itu,
akan nampak jelaslah bahwa ketercapaian kehendak itu tidak menimbulkan bahagia, (menurut pengalaman sebelumnya melalui perhitungan matematis),
maka dari itu silakan Anda raba sendiri kehendak Anda,
Telitilah satu-persatu (jangan dibuat-buat),
misalnya: "saya besuk jika sudah begini, maka akan begini, dan begini," niscaya akan sirna  (Ø).
Jika dipandang dengan rasa tanpa suka ataupun benci (pure observation), hal itu berarti: si-Kehendak ini bukanlah si-Rasa Aku.

Cara meneliti adalah dengan pemahaman (TEPAT, TIDAK RAGU).
Itulah yang disebut weweka.

KALAU ORANG BUDDHA menyebutnya KELUAR DARI GERBANG PIKIRAN.
Pada saat itu terasakan tubuh mulai bergetar, sekonyong-konyong dibarengi rasa tenteram alias rasa apapun-tercapai, kebalikan dari rasa putus-asa.

Silakan Anda teliti (observe) sendiri wujud-wujud si Kehendak:
  • rasa tidak mau susah dan
  • rasa sewenang-wenang
Serta diterangi dengan pemahaman "tidak akan menyebabkan bahagia."
Pada titik sekarang-begini ini Anda sudah membelenggu "raja segala keinginan."

Itulah
NYAI KOPEK-nya KANJENG SINUHUN KANJENG SULTAN AGUNG,
CACING-nya SITI JENAR.

Yang menghalang-halangi bisanya melihat NYAI-KOPEK (=DIRI SENDIRI) adalah rasa gengsi. Karena tiap orang itu menyangka dirinya sendiri baik, padahal ternyata jelek lagi tidak layak.
Untuk bisa melihatnya, bisa jadi memerlukan waktu yang lama, atau sebentar, bisa hitungan bulan, atau hari saja. Ketersingkapan raos-weruh ini terjadi tatkala telah menemukan (pethuk) atau merasakan kebahagiaan yang mendalam.

MENGENAI RASA SUSAH, wot galinggang-nya Sunan Kalijaga:
Awang-awang yang saya jalani,
uwung-uwung jauh tak terkira,
hamba semau-menuju,
buta arah utara selatan,
timur barat tidak tahu,
di atas dan di bawah,
di depan serta belakang,
hamba tidak mengetahui,
lebih bingung,
bersabda Sang Dewa Ruci,
"si rasa Aku-Melihat janganlah membuat bimbang khawatir hatimu."

Bait sabda terakhir itu menurut Sang Guru, artinya ialah: "Tidak ada beban kesusahan yang tak dapat kutanggung." لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

MALAH SESUMBAR BEGINI:
 kumpulkanlah kesusahan se-jagad raya,  
lalu timpakan semua ke dalam hatiku,
tak akan kumurkai,
tak akan kuperangi.
Bila setiap kesusahan yang datang
diterima dengan cara demikian, tentu GUSTI YESUS akan lahir.

RASA BAHAGIA karena KRAOS-WERUH ini TAK AKAN DAPAT TERUNGKAPKAN DENGAN KATA.

Meskipun demikian, kebiasaan manusia saat menderita kesusahan itu justru menyalahkan yang lainnya, atau menyerah pada kepastian takdir, walaupun tak ada gunanya,
sebab,
menyalahkan sesama itu artinya "buta-hati yang akibat rasa tidak percaya - tanpa butuh meneliti."  
menyerah pada keniscayaan berarti "buta-hati akibat rasa percaya-tanpa-memahami (percaya-tanpa-meneliti)."

Sementara itu, bila sekali kesusahan kita terima dengan "rasa tegar-tenteram berdasarkan  rasa-paham-tahu sendiri" bahwa kesusahan itu adalah kosong,
maka oleh sebab itu dualitas manusia (yang sebelumnya menyatu) akan terpilah, yaitu sifat hewaniah dan sifat ilahiah.
Karena itu,  
raos palastra (matinya rasa hewaniah) menjadi jalan dari keutamaan rasa Aku-Nyawang itu.

SESUDAH YANG DEMIKIAN, kemudian bersumpah: 
  • KEHENDAK, sekarang AKU tidak mencintai apapun kecuali dirimu.
  • KEHENDAK, sekarang AKU tidak sudi mematuhi siapapunselain dirimu, karena dirimu sudah pasti kekeliruan-nya.  
  • KEHENDAK, sekarang AKU sudah tidak punya siapa-siapa selain dirimu, yang kuperhatikan hanyalah dirimu, AKU tidak bisa bahagia apabila tidak memperhatikanmu.
SESUDAH BERSUMPAH kemudian terungkaplah pandangan hati,
menjadi bisa memahami segala sesuatu peristiwa yang membuat tidak nyaman saat dijalani.

Ketika mendapat cobaaan, akhirnya mempunyai dugaan bahwa "keadaan segala sesuatu dan peristiwa" itu bisa selaras menguntungkan atau justru menjadi halangan.
  • GUGON-TUHON, yaitu itu mendasarkan pada ajaran atau larangan baik buruk.
    Orang yang terkondisi oleh GUGON-TUHON ini akan mempunyai gagasan begini: "setelah aku tidak melakukan puja semedi, hatiku menjadi selalu was-was."
  • Tidak ada segala sesuatu yang bisa melaknat si Rasa Aku, begitulah kata Sang Guru Jagad fana terhadap dumadi.
    Baik-buruk benar-salah sudah tidak bersinggungan lagi dengan AKU-MELIHAT.
  • Rasa menghindari itu termasuk kelakuan si Kramadangsa.
Saya teringat saat berjumpa dengan Juffrouw Boesket di Salatiga. Dia memiliki ungkapan "diri ini hanyalah semata-mata menjalankan perintah sang pepunden atau sang Guru Dewaji." Saya jadi gemas hingga saya meluruskannya, "Hei Nona, si Rasa Aku Nyawang itu ya si Pepunden, si guru Dewaji. Tetapi memaksa memilih untuk tetap menjadi yang menyembah dan yang ber-Guru saja tentu akan tetap dapat bertemu, berarti dirinya memilih ("berkehendak") yang baik-baik saja, dan oleh karena itu justru mendapatkan yang buruk-buruk."

Cara memerangi rasa "pilih-menghindar" adalah dengan sabda "yang ada itu bukan Aku" meskipun si Kehendak ingin melarikan diri,
yaitu menyelidiki singgasana-nya rasa Aku-Nyawang.

SESUDAH ITU gerbang kencana yang kedua tentulah terbuka. Sampai di sini saja. Besok apabila bertemu kembali dilanjutkan. Mudah-mudahan, rasa ragu-ragu Anda sudah berubah menjadi rasa tegar-tenteram.

Catatan tambahan: tidak lama lagi sang Pencerah akan "datang" pada Ki Dewantara.

Sekian dulu,
Kakandamu,
wg Suryamentaram

Sumber terjemahan: Wiridan
Jika menurut Anda bermanfaat, silakan berbagi tulisan ini ke teman Anda dengan tombol Google+, Twitter, atau Facebook di bawah ini.
Comments
0 Comments
0 Comments

Berikan Komentar

Post a Comment

Translate This Page into