Home » » Mengurangi Rasa Takut saat Turbulensi Pesawat

Mengurangi Rasa Takut saat Turbulensi Pesawat

Diceritakan oleh Tricahyo Abadi pada Saturday, December 20, 2014 | 8:28 AM

Sebelum membagi sebuah tip ringan mengurangi rasa takut saat pesawat yang kita tumpangi mengalami turbulensi, perkenankan saya meng-copas status saya beberapa waktu yang lalu tentang hujan berikut ini.

Memandang Hujan

Sebagian dari kita mungkin memandang hujan sebagai keindahan hanya karena romantisme kisah-kasih film sering mendramatisir fenomena alam ini. Sebagian lagi memandangnya sebagai keberkahan sebagai bentuk husnuzhan terhadap Maha Pencipta. Benarkah demikian?

Bagaimana cara kita memandang hujan?
Bagaimana cara kita memandang hujan?
Menurut saya semua itu tidak salah, tetapi tidak lengkap. Bukankah hujan yang membuat berseri wajah petani tadah hujan di satu sisi, tapi sisi lain ia pula menghalangi petani tembakau menanam lebih banyak? Ialah yang mengguyur subur ladang kering kami, tetapi juga mengikis habis batu-bata yang baru jadi milik orang-orang di desa saya sana. Ia menggirangkan hati penyewa payung, tetapi ia pun membuat pedagang layang-layang was-was. Yang demikian itu silih berganti seterusnya. Anda juga dapat membaca selang-seling rasa manusia itu pada gambar yang merupakan screenshot status FB teman saya yang baru saja saya ambil di atas. 

Niteni Macem-Macem Rasa (Mengidentifikasi Berbagai Rasa)

Kemudian, apakah salah si petani tadah hujan berdoa meminta hujan sehingga menjadi bencana petani tembakau? Apakah petani berdosa saat pembuat batu-bata merugi di saat hujan? Pada ilustrasi di atas, tentu saja saya mengecualikan para perusak yang memang menghancurkan keseimbangan alam. Di situ keadaannya netral, hujan sebagai hujan. Jadi, entah bahagia, sedih, senang, atau takut, yang ada adalah rasa manusia saat memandang hujan dalam situasi tertentu. Semua rasa itu wajar saja, dan tidak ada yang dosa atau salah di sana. Dan dari memandang dan mengidentifikasi semua rasa apa adanya seperti itu, saya menemukan keindahan hakiki yang menciptakan ketenteraman di hati saya. 

Mengurangi Rasa Takut Saat Turbulensi Pesawat

Untuk kesekian kalinya, saya dihinggapi perasaan ini saat berada di atas pesawat. Kemarin sore, 19 Desember 2014 pukul 14.30, pesawat Sriwijaya Air yang saya tumpangi harus menembus hujan lebat dan awan tebal di atas bandara Abdul Rahman Saleh. Berdasarkan pengalaman saya dan teman-teman lain, mendarat di Abdul Rahman Saleh cukup menciutkan nyali. Di saat cuaca normal pun goncangan turbulensi pesawat kadang terjadi beberapa saat. Dan kemarin itu awan kelabu menyelimuti disertai hujan deras. Goncangan demi goncangan dilewati dengan panjatan doa dan teriakan ketakutan beberapa ibu-ibu. Tapi terus terang, rasa takut saya sudah tidak seperti yang sudah-sudah. Berikut ini yang saya lakukan untuk mengurangi rasa takut itu:

Pertama, semua yang saya kemukakan tentang hujan di atas selalu saya resapi, dan begitulah cara saya sekarang memandang suatu kondisi. Ketika saya merasakan pesawat bergetar, saya membayangkan pesawat yang saya tumpangi adalah sebuah pesawat styrofoam yang meliuk-liuk diterpa angin. Bukankah lebih gampang membayangkannya sebagai mainan alih-alih mesin terbang yang begitu rumit itu? Ia tetap mengambang di udara mengikuti arah angin. Semua terjadi berdasar hukumnya. Jika sayapnya patah terhempas angin, mungkin akan segera jatuh ke tanah. Namun, itu jarang terjadi.

Lalu apa? Agama telah menyatakan setiap yang lahir akan mati kembali ke asalnya. Itulah hukum Tuhan. Di sisi lain, sains mengatakan energi akan tetap kekal, hanya berubah bentuk, itulah hukum Alam. Berakhirnya suatu manfaat dalam satu bentuk, akan bermanfaat dalam bentuk energi lain. Artinya, tidak ada yang harus dikhawatirkan atau ditakuti. Agama Islam mengatakan, daun jatuh itu sudah pasti, begitupun segala sesuatu, manusia hanya belum tahu kapan saatnya. Hanya ketidaktahuan kita yang membuat kita takut, sama seperti saat saya di desa memandang malam yang membuat takut karena kita tidak bisa melihat apapun di depan saya. Akan berbeda keadaannya saat malam gelap itu diterangi gebyar lampu seperti di kota. Rasanya tiada beda dengan siang, bukan? Menurut agama Islam, orang beriman tidak mempunyai rasa takut, begitu pula menurut sains tentang orang yang mempunyai pengetahuan.

Sesekali saya pandangi bayi di gendongan ibunya yang ada di beberapa deret kursi di depan saya. Ia polos murni belum ada nampak kecemasan di wajahnya. Ia masih belum banyak terkondisikan seperti kita orang dewasa.

Sembari menghayati semua itu, saya kunyah permen karet untuk menghilangkan tekanan udara yang mendera kedua telinga saya karena saya dalam keadaan flu. Mengunyah permen karet juga berperan menghilangkan rasa cemas saya. Warna kelabu masih menyelimuti sementara saya masih sibuk memandangnya penuh penghayatan. Tiba-tiba saja kami dikagetkan oleh bunyi roda pesawat yang menyentuh landasan. Rupanya hujan begitu derasnya sehingga mengakibatkan jarak pandang kami terbatas warna itu. Pesawat kami mendarat dengan lancar. Canda dan tawa kembali berderai seakan lupa suasana mencekam beberapa detik yang lalu. Dan itulah kita. Harapan belum tercapai, cemas dan takut. Keinginan tercapai, pasti gembira, sombong, dan lupa.

***
Update 27 Februari 2015: Kemarin dalam perjalanan ke Kupang, saya menyempatkan menonton film pada layar yang disediakan Garuda di depan setiap penumpang. Filmnya bagus, judulnya The Book Thief. Prolog di awal film ini membuat saya begitu tenang berada di pesawat. Berikut ini saya kutipkan:
One small fact: you're going to die.
Despite every effort, no one lives forever.
Sorry to be such a spoiler.
My advice is, when the time comes, don't panic.
It doesn't seem to help.
"Satu fakta kecil: Anda akan mati. 
Apapun usahanya, tak seorang pun yang hidup selamanya. 
Maaf telah menyampaikan hal yang Anda tidak ingin dengar.
Saran saya, jika saatnya tiba, jangan panik.
Itu sia-sia aja."  
Itulah sekelumit hal yang saya lakukan untuk mengurangi rasa takut saya saat turbulensi pesawat terjadi. Anda dapat mencobanya sendiri. Atau Anda punya cara lain untuk mengatasi cemas itu? Sila berbagi di sini.


Jika menurut Anda bermanfaat, silakan berbagi tulisan ini ke teman Anda dengan tombol Google+, Twitter, atau Facebook di bawah ini.
Comments
0 Comments
0 Comments

Berikan Komentar

Post a Comment

Translate This Page into