Home » » Mitos 'Ratu Adil' (1): Gegar Budaya dan Peradaban

Mitos 'Ratu Adil' (1): Gegar Budaya dan Peradaban

Diceritakan oleh Tricahyo Abadi pada Wednesday, December 25, 2013 | 12:43 PM

Mitos ‘Ratu Adil’ ini merupakan tulisan wacana Ki Sondong Mandali yang disampaikan kepada panitia sarasehan dengan tema: “Peran Media dalam Memasyarakatkan Fenomena Ratu Adil' yang diselenggarakan di Aula Gedung ‘Suara Merdeka’ Semarang, pada hari Sabtu, 22 Maret 2008. Tulisan ini diunggah kembali atas izin beliau.

Sejak kapan mitos ‘Ratu Adil’ muncul masih butuh penelitian dan pengkajian mendalam, namun bisa diperkirakan semasa dengan lahirnya ‘Jangka Jayabaya’ dan ceritera mitos tentang ‘Sabdapalon Nayagenggong’. Bila dirunut melalui literatur Jawa yang ada, mitos-mitos tersebut muncul pada zaman ‘Kapujanggan’ di Keraton Surakarta, suatu masa yang bisa disebut sebagai ‘zaman keemasan Jawa’ di bidang sastra, budaya, dan merupakan ‘kebangkitan’ spiritualisme Jawa.
Ratu Adil Prajna Paramita
Prajna Paramita (Foto: Wikipedia)
Zaman kapujanggan saya sebut sebagai ‘masa kebangkitan spiritualisme Jawa’ dengan alasan bahwa di zaman itu para pujangga telah menghasilkan karya-karya sastra spiritual Jawa melanjutkan ‘kesadaran Jawa’ yang dirintis pada zaman Sultan Agung, yaitu era saat aksara Jawa ‘hanacaraka’, kalender Jawa, dan piwulang spiritualisme Jawa ‘Sastra Gendhing’ mulai disusun kembali.

Merupakan kepiawaian para pujangga bahwa karya-karyanya selalu dirujukkan ke masa sebelumnya, baik masa masuknya budaya dan peradaban Hindu-Buddha maupun masa mulai masuknya budaya dan peradaban Islam. Termasuk kepiawaian tersebut, para pujangga selalu ‘mengakukan’ karya-ciptanya sebagai karya para wali atau raja yang berkuasa. Hal ini seperti melanjutkan tradisi para empu-empu penyusun kitab-kitab kakawin yang selalu menyatakan karyanya atas perintah atau persembahan kepada para raja. 

Menariknya, ketika kita kaji karya sastra yang ‘nyebal’, para pujangga tidak pernah mencantumkan jati-dirinya atau menggunakan nama samaran. Contohnya: Serat Darmagandhul dan Gatholoco, pujangganya menyebut dirinya ‘Ki Kalamwadi’ yang arti harfiahnya kemaluan laki-laki (penis). Sementara itu, karya sastra yang mewacanakan mitos ‘Ratu Adil’ tidak diketahui penulisnya. Kalau toh kemudian muncul ‘nama-nama dugaan’, itu adalah asumsi-asumsi dari para peneliti, sebut saja nama peneliti Jawa dan ke-Jawa-an seperti Drewes, Akkeren, dan sejumlah nama lain (asing dan pribumi).

Mitos 'Ratu Adil', Gegar Budaya dan Peradaban

Kita boleh membangun banyak pendapat tentang maksud dan tujuan para pujangga yang menyembunyikan diri ketika menulis karya-karya yang nyebal. Boleh kita asumsikan bahwa para pujangga tersebut ‘ketakutan’ terhadap penguasa (Keraton dan Pemerintah penjajah Hindia Belanda). Boleh juga kita asumsikan karya-karya itu mengandung kepentingan mendukung dan ‘melawan’ sebaran agama Islam dan Kristen. Artinya, kita boleh menduga bahwa kelahiran mitos-mitos dan ramalan (termasuk mitos Ratu Adil) bermuatan nuansa politik di zaman itu. Nuansa politik yang saya maksud adalah ‘benturan antar-peradaban’, Islam - Kejawen - Sekuler Barat (Belanda). Dampak benturan mengakibatkan ‘gegar’ pada budaya dan peradaban Jawa yang kemudian mengusik nurani para pujangga (sujana sarjana).  Karya sastra ‘nyebal’ merupakan ekspresi nurani para pujangga yang terusik tersebut.

Mitos ‘Ratu Adil’ sejak kelahirannya sudah bermuatan politik kepentingan macam-macam. Salah satu buktinya adalah ‘Babad Kediri’ yang ternyata merupakan ‘pesanan’ dari Residen Hindia Belanda yang ditempatkan disana (Bambang Noorsena, Menyongsong Sang Ratu Adil). Muatan politisnya berupa ‘perlawanan’ kaum Kejawen (Jawa Pedalaman) terhadap sebaran agama Islam. Pada babad ini disebutkan bahwa akan datang ‘Ratu Adil’ sebagai penjelmaan Raja Jayabaya yang akan membangun kembali kejayaan Jawa.

Mitos ‘Ratu Adil’ kemudian banyak disinggungkan dengan cerita ramalan yang populer dengan sebutan ‘Jangka Jayabaya’. Dan ketika muncul kemudian tentang mitos ‘Sabdapalon Nayagenggong’, wacana datangnya ‘Ratu adil’ disinggungkan dengan mitos ‘Satria Piningit’. Hal ini nampak jelas termuat dalam ‘Serat Darmagandhul’, dimana disebutkan bahwa ‘Satria Piningit’ yang akan mengentaskan Jawa adalah momongan ‘Sabdapalon Nayagenggong’. Pengentasannya, diceriterakan dengan melakukan ‘pencerahan kembali’ akan jati-diri Jawa. Tersebut pada pupuh Pangkur sebagai berikut:
  1. Sabdapalon aturira, datan kesah amanggen wonten ngriki, mung netepi nami ulun, nami Ki Lurah Semar, kula nglimput saliring samar kang wujud, anglela ampungan padhang, den enget Sang Nata benjing.
  2. Yen wonten manusa Jawa, Jawi angangge mata siji, nami sepuh gaman kawruh, niku momongan-kula, tiyang jawan sun-wruhke bener lan luput, sigra tedhak Sri Narendra, arsa ngrangkul den inggati.
  3. Palonsabda Genggongnaya, samya musna kadhung Sri Narapati, kalangkung pangungunipun, njethung anenggak waspa, angandika he Sahid kawruhanamu, ing besuk nagri Blambangan, aran nagri Banyuwangi.
  4. Ya iku tengeranira, Nayagenggong bali mring tanah Jawi, anggawa momonganipun, mata siji kang wignya, wani lungguh anjajari maring ingsun, tan wruh asal sobat kenal, yen nakal binuwang tebih.
  5. Tyasira angkara murka, kumet loma krenah pitenah dadi, dana kawruh dana laku, mrih arja tanah Jawa, Sabdapalon isih ana sabrang nglimput, tengerane iki sendhang, banyune yen mari wangi.
  6. Wong Jawa ganti agama, akeh tinggal agama Islam benjing, aganti agama kawruh, Sunan Kali turira, yen makaten utaminira Sang Prabu, kula prayogi mbekta, toya wangi sendhang niki.
Penulis Serat Darmagandhul menyembunyikan identitas dirinya sebagai ‘Ki Kalamwadi’. Nama samaran ini kemudian menimbulkan banyak dugaan dari para peneliti. Ada yang menduga Ki Kalamwadi sebagai nama samaran pujangga R.Ng. Ranggawarsita, ada yang menyebutnya sebagai nama samaran dari Kyai Ngabdulah Ibrahim Tunggul Wulung, mantan santri yang kemudian menjadi penginjil di wilayah Kediri di awal abad ke-19 Masehi. Adalah Drewes dan Akeren (dikutip oleh Bambang Noorsena) yang menduga bahwa penulis Babad Kediri, Serat Darmagandhul, dan Serat Gatholoco adalah Ngabdulah Tunggul Wulung yang menjadikan mitos ‘Ratu Adil’ di-‘kristen’-kan atau dimuati gerakan misionaris Kristen di Jawa.

Pada perkembangan selanjutnya, para peneliti Muslim menduga bahwa mitos ‘Ratu Adil’ sebagai pengadopsian kepercayaan akan hadirnya ‘Imam Mahdi’ yang akan muncul kembali menjelang kiamat nanti.

Wacana hadirnya ‘Ratu Adil’ yang disinggungkan dengan Yesus Kristus yang akan turun kembali dan Imam Mahdi yang juga akan muncul kembali kiranya terlalu berlebihan, sebab turunnya Yesus dan munculnya Imam Mahadi berkaitan dengan akan datangnya hari kiamat, sedangkan mitos ‘Ratu Adil’ (Jangka Jayabaya, Sabdapalon Nayagenggong, dll.) adalah wacana ‘kerinduan’ umat Jawa akan hadirnya suatu ‘pemerintahan negara’ yang adil dan mampu mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Mitos 'Ratu Adil' adalah suatu kerinduan yang membumi dan mungkin terjadi karena berdasarkan kenyataan sejarah, pada zaman sebelumnya Jawa pernah mencapai ‘pemerintahan negara’ yang dirindukan rakyat tersebut. Pada serat-serat kapujanggan, zaman keemasan Jawa itu disebutkan pada zaman Jayabaya (Kediri) dan Brawijaya (Majapahit). Di samping itu, perlu juga dikaji jejak sejarah yang memberi peninggalan Borobodur dan Prambanan untuk membuktikan hal tersebut.


Mitos ‘Ratu Adil’ bila kita selisik mendalam adalah ungkapan pujangga yang mewakili ‘suara rakyat tertindas’ yang bisa disejajarkan dengan wacana yang digulirkan Bung Karno, ‘Amanat Penderitaan Rakyat’ (Ampera). Maka, dengan sendirinya mitos tersebut akan selalu hidup di batin rakyat yang mendambakan pemerintahan negara yang berpihak kepada nasibnya.

Oleh Ki Sondong Mandali
Jika menurut Anda bermanfaat, silakan berbagi tulisan ini ke teman Anda dengan tombol Google+, Twitter, atau Facebook di bawah ini.
Comments
0 Comments
0 Comments

Berikan Komentar

Post a Comment

Translate This Page into