Home » » A Study in Simplicity (Kesederhanaan Einstein)

A Study in Simplicity (Kesederhanaan Einstein)

Diceritakan oleh Tricahyo Abadi pada Wednesday, March 27, 2013 | 10:59 PM


A heavy rain poured down from the sky last night, and the weather is cool and refreshing this morning, and I feel great. I feel greater and enlightened after reading an article from an old Gems, from Reader's Digest, entitled Einstein: A Study in Simplicity.


It tells me that Einstein's face is the look of a man at peace with himself. This means he has found the way to supreme happiness, serenity, because he has remained a simple human being. He likes walking and sailing a boat, and doesn't want to waste mental energy on such games as bridge and chess. He uses the same soap to wash and to shave. He is not much of a reader. "Reading after certain age diverts the mind too much from its pursuits. Any man who read too much and uses his brain too little falls into lazy habits of thinking," he says. He wasn't a brilliant student, once he failed in his first entrance examination to the school.

One of his opinion about nationalism is: "It is an infantile disease. It is the measles of mandkind." It is because he loves the good of human race, not only a nation which is part of it. Nice article, really simple but a gem!

Terjemahan:

Hujan semalam seakan tercurah dari langit, dan pagi ini terasa segar hingga kumerasa bersemangat. Dan semangatku bertambah ketika aku membaca salah satu artikel di Gems, bunga rampai artikel terbitan lama Reader's Digest, yang judulnya Einstein: A Study in Simplicity.

 Artikel itu mengungkapkan bahwa raut muka Einstein sendiri menggambarkan rasa damai dalam dirinya. Itu berarti beliau telah menemukan jalan menuju puncak kebahagiaan, ketenteraman, dengan tetap menjadi manusia yang sederhana. Beliau suka jalan-jalan dan berlayar memakai perahu, tanpa mau menghabiskan energi pikirannya untuk permainan yang memeras pikiran seperti bridge dan catur. Beliau menggunakan sabun yang sama untuk mencuci maupun bercukur.  Beliau pun bukan kutu buku. "Membaca setelah beberapa lama akan mengubah pikiran menjadi melenceng jauh dari apa yang dicita-citakan. Siapapun yang terlalu banyak membaca dan sedikit mempergunakan otaknya akan terjerumus dalam kebiasaan malas berpikir." kata beliau. Beliau pun bukan siswa yang pandai, suatu saat pernah gagal dalam ujian masuk suatu sekolah.

Salah satu pendapatnya mengenai nasionalisme: "Nasionalisme adalah penyakit kekanak-kanakan, wabah yang menyerang umat manusia." Semua itu dia ungkapkan atas cintanya pada kemanusiaan, bukan hanya sebuah bangsa yang hanya merupakan bagian kecil saja.

Benar-benar artikel bagus yang terpendam dalam fenomena badai informasi sekarang ini.

Catatanku Kamis tanggal 1 Februari 2007
Jika menurut Anda bermanfaat, silakan berbagi tulisan ini ke teman Anda dengan tombol Google+, Twitter, atau Facebook di bawah ini.
Comments
0 Comments
0 Comments

Berikan Komentar

Post a Comment

Translate This Page into